Sabtu, 22 Mei 2010

Asal-usul Cerita Rakyat Sendang Senjaya dan Karebet

Pada zaman dahulu di negara Medang Kamolan terjadilah peperangan. Raden Sanjaya, pangeran negara tersebut kalah dan akhirnya lari sampai di Senjaya. Di sana ia bertapa kemudian menghilang dan munculah mata air yang diberi nama Sumber Senjaya atau Sendang Senjaya. Kemudian sumber tersebut dijadikan tempat pertapaan.
Pada suatu hari datanglah para priyayi di antaranya Ki Kebo Kanigoro, Sunan Kalijaga dan Jaka Tingkir atau Karebet. Di sana Karebet mendirikan sebuah padepokan yang diberi nama padepokan Karebet. Ia juga membuat sebuah gubuk, menanam buah manggis dan blimbing. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan desa Jubug, desa Manggisan dan desa Blimbing.
Karebet adalah anak seorang priyayi Pengging yang bernama Ki Kebo Kenanga. Ia dilahirkan ketika ayahnya menggelar pertunjukan wayang beber dengan Ki Ageng Tingkir sebagai dalangnya. Pada saat istri Ki Kebo Kenanga akan melahirkan terjadi hujan lebat serta angin kencang hingga menerpa wayang dan terdengar krebet-krebet, oleh karena itu Ki Ageng Tingkir memberi nama anak Ki Kebo Kenanga dengan nama Karebet.
Tidak lama kemudian, terdengar kabar bahwa Ki Ageng Tingkir sakit keras. Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang menjenguknya. Sampai di sana ternyata Ki Ageng Tingkir meninggal dunia. Mereka tinggal di desa Tingkir selama tujuh hari sebagaimana adat Jawa.
Ki Kebo Kenanga adalah penganut Hindu yang taat. Hari-harinya disibukkan dengan bertapa dan untuk mencapai kesejatian hidup. Akalnya cerdas dan hatinya bersih. Kekuasaan, pangkat, jabatan atau gelar kebangsawanan menjadi sesuatu yang ia hindari. Suatu kali ia bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Setelah itu ia masuk Islam dengan Syekh Siti Jenar sebagai gurunya. Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa pada hakekatnya manusia adalah Tuhan. Hukum hanya aturan semu belaka, bahkan bisa menjerumuskan pelakunya jika tidak disertai keyakinan ketuhanan. Ki Kebo Kenanga juga mengikuti faham tersebut. Syeh Siti Jenar dianggap telah menyesatkan agama Islam kemudian dia dihukum mati, dengan para wali sebagai eksekutornya.
Sebagaimana halnya Syekh Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga juga mempunyai banyak pengikut. Semua penduduk Pengging patuh dan mengikuti petuah-petuahnya. Pengging merupakan wilayah Demak, maka seharusnya tunduk pada kekuasaan Demak. Namun, Ki Kebo Kenanga tidak mau manghadap pada Sultan meskipun satu kali saja, apalagi ia masih kemenakan raja. Penolakan ini dianggap oleh Sultan sebagai pembangkangan. Beberapa kali utusan datang untuk menyuruh Ki Kebo Kenanga menghadap, tetapi tetap tidak dihiraukannya, hingga Sultan memberinya waktu tiga tahun. Waktu yang diberikan pun habis, dan Ki Kebo Kenanga tidak menghadap. Hal ini dianggap Sultan sebagai pengkhianatan, apalagi pendukungnya semakin banyak. Maka, Sultan menyuruh Sunan Kudus untuk memberikan hukuman mati kepada Ki Kebo Kenanga. Setelah kematian Ki Kebo Kenanga, istrinya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir.
Karebet tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gemar bertapa, sehingga dijuluki Jaka Tingkir. Nyai Ageng kurang berkenan dengan apa yang dilakukan Jaka Tingkir, kemudian ia menyuruhnya untuk berguru pada Ki Ageng Sela. Akhirnya ia berguru pada Ki Ageng Sela. Ki Ageng juga mengangangkatnya sebagai cucu dan dipersaudarakan dengan ketiga cucunya, yaitu Ki Juru Martanai, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Jaka Tingkir sangat cakap, sehingga Ki Ageng sangat sayang padanya. Menurut silsilah mereka masih misan, sama-sama cicit Prabu Brawijaya. Suatu kali Jaka Tingkir diajak bertapa di hutan. Ki Ageng meminta petunjuk pada Tuhan siapa yang akan menjadi raja besar Jawa nantinya. Dia berharap anak keturunanyalah yang akan menjadi raja besar, karena Ki Ageng merasa dirinya masih keturuan Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Tujuh hari tujuh malam mereka berada di hutan Renceh, di sebelah utara timur Tarub. Ki Ageng Sela menghabiskan waktu dengan bersemedi, sedangkan Jaka Tingkir hanya tidur dan bermain. Hingga suatu malam, Jaka Tingkir tertidur berbantalkan kaki Ki Ageng yang sedang bersemedi. Ki Ageng mendapatkan wahyu seperti mimpi. Dalam mimpinya, Ki Ageng pergi ke hutan membawa sabit hendak memangkas semak dan pohon-pohon kecil. Terlihat juga Jaka Tingkir sudah ada dalam hutan tersebut dan semua pohon sudah tumbang dicabut olehnya.
Seketika itu Ki Ageng terbangun dan melihat Jaka Tingkir tertidur di kakinya. Lalu ia membangunkannya dan menanyakan apakah ia pernah bermimpi. Jaka Tingkir menjawab bahwa ia pernah bermimpi kejatuhan bulan. Itu adalah mimpi yang bagus kata Ki Ageng Sela. Ki Ageng merasa resah dengan hal itu, namun ia pasrah dan sadar bahwa kekuasaan Tuhan tidak dapat diupayakan manusia. Ki Ageng menasehati agar Jaka Tingkir pergi ke Demak Bintoro untuk menemukan arti mimpinya itu. Ki Ageng juga berkata jika Jaka Tingkir telah berhasil ia jangan sampai melupakan keturunan Ki Ageng Sela.
Sebelum pergi ke Demak, Jaka Tingkir berpamitan pada Nyai Ageng Tingkir. Nyai Ageng Tingkir mengijinkannya asalkan ia ditemani pelayan, karena Nyai Ageng sangat sayang padanya, dan takut kalau terjadi apa-apa. Namun, pelayanya itu sedang matun (mencabuti rumput di sawah). Jaka Tingkir menuruti apa yang dikehendaki Nyai Ageng. Ia dengan sabar menunggu dua orang pelayan yang akan mengantarnya ke Demak, bahkan Karebet menyusul ke sawah untuk membantu agar cepat selesai. Menjelang waktu asar, Karebet masih bekerja di sawah. Kebetulan Sunan Kalijaga lewat di situ dan melihatnya sedang matun. Segera ia menghampiri dan mengatakan pada Jaka Tingkir agar ia menghentikan pekerjaanya itu dan mengatakan bahwa Jaka Tingkir adalah calon pemimpin Jawa. Sunan Kalijaga hanya berkata demikian, lalu meninggalkan Jaka Tingkir dan berjalan ke utara tanpa menoleh.
Setelah itu ia pulang dan menceritakan semuanya pada Nyai Ageng. Lalu Nyai Ageng menyuruhnya lekas berangkat dan pekerjaan yang belum selesai biar Nyai Ageng yang meneruskan. Lalu Jaka Tingkir berangkat ke Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Ganjur atau Kyai Gandamustaka (saudara Nyai Ageng Tingkir) yang bekerja sebagai perawat masjid Demak berpangkat lurah Ganjur.
Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggono, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak dengan pangkat lurah Wiratamtama. Suatu kali Jaka Tingkir diberi tugas untuk menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar yang datang terlambat. Nama orang tersebut Dadung Ngawuk. Ia bersikeras minta diuji. Dia merasa lebih hebat dibanding dengan calon prajurit tamtama yang lain, bahkan lebih sakti dari Jaka Tingkir. Kemudian Jaka tingkir menguji kesaktiannya dan Dadung Ngawuk tewas dengan menggunakan sadak kinang. Akibat kejadian ini Jaka Tingkir diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyu Biru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Ki Kebo Kanigoro sering mengajaknya bertapa di sendang Senjaya. Suatu kali sumber di sendang ini besar sekali, kemudian Jaka Tingkir menyumbat dengan rambutnya, dan akhirnya menjadi kecil dan bisa digunakan oleh masyarakat lagi. Di sendang ini terdapat tujuh mata air yaitu, pertama sendang Gojek. Sendang ini biasanya digunakan Jaka Tingkir sebagai tempat berkumpulnya dengan para wali. Kedua, Umbul Senjaya, tempat ini sebagai sumber pertama, hasil menghilangnya raden Sanjaya. Sumber ketiga yaitu sumber Bandung. Sumber keempat, sendang Kakung. Sendang ini digunakan Jaka Tingkir untuk mandi. Kelima yaitu sumber Teguh, keenam aendang putri dan yang terakhir Tuk Sewu, karena tuk di sumber ini banyak sekali, sehingga dinamakan Tuk Sewu.
Setelah tamat, Jaka Tingkir pergi ke Demak lagi dengan ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila dan Ki Wuragil. Rombongan ini menyusuri sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya dan menyerang mereka. Buaya-buaya tersebut dapat ditaklukkan, bahkan membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Sultan Trenggono sekeluarga sedang berada di gunung Prawoto. Atas usulan Ki Kebo Kanigoro, Jaka Tingkir melepas kerbau gila yang dinamakan Kebo Danu yang sebelumnya sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk dan menyerang pesanggrahan Sultan Trenggana. Tak seorang pun yang bisa menghadapi kerbau tersebut. Akhirnya Jaka Tingkir menghadapi kerbau tersebut dan ia diangkat menjadi lurah Wiratamtama lagi.
Prestasi Jaka Tingkir sangat bagus sekali, sehingga Sultan mengangkatnya menjadi menantu dan menjadi adipati Pajang dengan gelar Adiwijaya atau Hadiwijaya. Sepeninggal Sultan Trenggana, yang seharusnya menggantikan adalah Sunan Prawoto. Namun, beliau tidak mau karena ingin menjadi sunan atau priyayi mukmin di Prawoto. Kemudian tahta kerajaan diberikan kepada Jaka Tingkir dengan pusat pemerintahan di Pajang.
Dahulu setelah Pangeran Sabrang Lor Wafat, orang yang berhak menggantikannya sebagai Sultan adalah Pangeran Sekar Seda Eng Lepen. Namun, atas pertimbangan para wali dan kerabat istana, mereka memutuskan yang pantas menduduki tahta kerajaan adalah Sultan Trenggana. Hal ini menimbulkan rasa yang kurang puas pada Pangeran Seda Eng Lepen, tetapi ia masih berlapang dada dan menerima keputusan itu. Pangeran Seda Eng Lepen diam-diam mempersiapkan anaknya yang bernama Arya Penangsang untuk menggantikan pamannya, jika kelak sudah turun tahta. Arya Penangsang diserahkan kepada Sunan Kudus agar diasuh dan dididik. Ternyata Sunan Prawoto (anak Sultan Trenggana) juga dititipkan di sana. Arya Penangsang tumbuh menjadi manusia yang kuat, namun ia kurang bisa menahan emosi dan gampang marah, sedangkan Pangeran Prawoto lebih sabar dan tenang, namun dia kurang dalam kesaktian.
Pangeran Prawoto mencium gelagat yang kurang baik. Dia mencurigai pamannya, Pangeran Seda Eng Lepen akan merebut tahta kerajaan. Ia berencana menyingkirkan pamannya itu dengan cara menyuruh orang untuk membunuhnya. Selesai sembahyang di masjid, suruhan Pangeran Prawata mencegat Pangeran Seda Eng Lepen di pinggir sungai. Ia dalam keadaan lemah lalu dibegal dan dibunuh. Berita ini sampai di telinga Arya Penangsang. Lalu ia berencana akan membalas dendam, namun amarahnya itu berhasil diredam oleh Sunan Kudus. Dia berjanji akan membalas perbuatan Pangeran Prawata suatu ketika.
Pengangkatan Jaka Tingkir diketahui oleh Arya Penangsang. Ia tidak terima tahta kerajaan diberikan kepada orang yang bukan keturunan Raden Patah, apalagi yang mengangkatnya itu Sunan Prawoto. Sunan Kudus pun demikian. Dia lebih suka kalau orang yang memerintah adalah muridnya, bukan Adiwijaya yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Persaingan antar wali dalam bidang politik juga berpengaruh. Selain itu, Sunan Kudus kurang suka pada Adiwijaya karena ia telah beralih guru pada Sunan Kalijaga. Sunan Kudus bertambah tidak suka pada Sunan Kalijaga karena muridnya yang bernama Sunan Prawata juga ikut berguru pada Sunan Kalijaga. Ia bertanya pada Arya Penangsang hukuman apa bagi orang yang mempunyai dua orang guru sekaligus. Arya penangsang menjawab bahwa mati adalah hukumannya. Sunan Kudus mengatakan bahwa yang berhianat adalah Pangeran Prawoto. Sunan Kudus merasa Sunan Prawata telah berkhianat padanya. Hanya Arya Penangsang yang masih setia. Maka Arya Penangsang siap melakukan hukuman bagi Sunan Prawoto.
Semenjak saat itu Arya Penangsang melakukan serangkaian kekacauan. Ia membunuh banyak orang yang dianggapnya musuh. Dendam atas kematian ayahnya salah satunya. Baginya semua ini karena pamannya, Sultan Trenggana. Maka, semua orang yang masih anak cucu Sultan Tranggana harus dibinasakan. Pertama, yang ingin dia bunuh adalah Sunan Prawata. Selain sebagai putra Sultan Trenggana, ia juga telah berkhianat pada Sunan Kudus.
Adik Sunan Prawoto yang bernama Ratu Kalinyamat mendengar bahwa kakaknya telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Kemudian ia pergi menghadap kepada Sunan Kudus untuk mendapat keadilan. Ia berharap Sunan kudus dapat menghukum muridnya karena telah melakukan pembunuhan. Namun, Ratu kalinyamat tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lalu ia pulang dengan marah dan kecewa. Arya Penagsang mengetahui bahwa sepupunya itu telah mengadu pada gurunya. Ia menganggapnya sebagai kesempatan untuk membunuh mereka. Maka diutuslah beberapa pengawal untuk membunuh pasangan suami istri tersebut. Para pengawal menyamar sebagai perampok dan berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat, sementara itu sang ratu berhasil melarikan diri.
Ratu Kalinyamat semakin marah dan dendamnya semakin memuncak. Ia memutuskan pergi ke gunung Danareja untuk bertapa sebagai wujud ketidakberdayaan. Ia tanggalkan semua pakaiannya. Ratu bertapa dengan telanjang bulat. Ia membiarkan rambutnya terurai untuk menutupi tubuhnya. Ratu bersumpah tidak akan memakai kain seumur hidup sebelum Arya Penangsang mati. Dia juga mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang, ia akan memberikan semua harta bendanya.
Arya Penangsang telah berhasil membunuh Sunan Prawoto dan suami Ratu Kalinyamat, kemudian Sunan Kudus menasehatinya untuk membunuh Sultan Pajang dengan diam-diam. Ia mengirim empat orang untuk melakukan rencana tersebut. Para suruhan berhasil menyusup ke kamar tidur raja. Mereka melihat raja sedang tidur bersama istrinya. Mereka menghunuskan pedang ke selimut raja. Sang permaisuri terbangun lalu menjerit histeris. Raja pun bangun, lalu menyingkapkan selimutnya. Para pembunuh itu terjatuh dan tidak bisa bangun lagi. Sultan tidak menghukum mereka, malahan menyuruh mereka pulang serta diberi hadiah.
Keempat orang tersebut pulang ke Jipang dan melaporkan kegagalan percobaan pembunuhan itu kepada adipati. Laporan itu membuat Arya Penangsang semakin khawatir. Lalu ia meminta nasehat kepada Sunan Kudus. Dia meminta agar Sunan memanggil raja Pajang. Raja Pajang alias Jaka Tingkir menghadap Sunan Kudus karena masih mengangganya sebagai guru. Ki Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi memberikan usulan kepada raja untuk membawa seluruh pasukan tentaranya, pasukan kuda di depan dan pasukan jalan kaki di belakang. Pasukan tersebut dipimpin langsung oleh Ki Patih Mas Manca.
Sampai di alun-alun Kudus, Sunan Kudus memerintahkan Arya Penangsang menyambut dan mengajaknya masuk. Hal ini sebagai siasat untuk melemahkan raja Pajang. Meskipun terkenal dengan orang yang sakti, namun raja Pajang juga mempunyai kelemahan. Sunan dengan sengaja menyediakan kursi khusus untuk sang raja dengan harapan, setelah duduk dari kursi yang telah diberi mantra, kesaktiannya akan luntur.
Para Abdi Sela melihat gelagat yang tidak baik. Mereka menyarankan raja untuk berhati-hati. Para abdi Sela sengaja memancing amarah Adipati Jipang agar hilang akal sehatnya. Mereka berhasil membuat marah sang adipati, sehingga ia lupa untuk mempersilahkan Sultan Adiwijaya duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Beberapa saat kemudian Sunan Kudus keluar. Ia terkejut melihat kursi yang diberinya mantra itu telah diduduki Arya Penangsang. Firasatnya mengatakan bahwa manusia tidak bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa. Pertemuan itu tidak ada pembicaraan yang berarti. Sunan Kudus hanya sebagai penengah dalam perselisihan itu. Sunan Kudus memberi nasehat agar keduanya tidak boleh saling mendekat lagi. Antara Jipang dan Pajang harus pisah. Sungai Sore atau sungai Caket sebagai batasnya. Salah satu dari keduanya tidak boleh menyeberangi sungai. Jika ada yang menyeberang, maka akan menderita kekalahan dalam perang.
Sultan Adiwijaya tersentuh dengan apa yang dilakukan Ratu Kalinyamat. Ia pergi ke gunung Danareja untuk menasehati kakak iparnya itu untuk menghentikan pertapaannya. Ratu bersikeras tidak akan berhenti sebelum Arya Penangsang mati. Ia berjanji kepada Sultan Adiwijaya, jika ia berhasil membunuh Arya Penangsang maka akan dihadiahi kerajaan Kalinyamat (Jepara) dan Prawata (Demak). Sultan Adiwijaya tidak mau berperang melawan Adipati Jipang karena masih teringat nasehat Sunan Kudus. Namun, atas nasehat Ki Pemanahan Sultan Adiwijaya akan memberi jawaban sehari kemudian. Ki Pemanahan mendatangi Ratu Kalinyamat untuk menembah hadiahnya dengan dua wanita cantik. Hal ini adalah kelemahan raja. Kemudian Ki Pemanahan juga mendatangi Sultan bahwa membunuh Arya Penangsang bukan untuk mendapat hadiah, namun menolong saudara yang tertimpa kesusahan. Raja pun tidak harus turun langsung menghadapi Arya Penangsang, cukup bawahannya saja. Akhirnya raja setuju. Ia mengadakan sayembara. Siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang akan diberi hadiah Mataram dan Pati. Ki Pemanahan tergiur dengan hadiah tanah Jepara dan Demak, apalagi hadiah yang diberika oleh raja. Kemudian para tokoh Sela, yang teridiri dari Ki Pemanahan, Ki Juru Martani, Ki Panjawi dan Danang Sutawijaya segera mengatur siasat. Keempat kerabat Sela tersebut berangkat ke dekat sungai Caket. Mereka menyamar sebagai orang biasa. Ki juru Martani merencanakan taktik perang melawan Arya Penangsang. Di seberang sungai mereka melihat ada seorang yang sedang mencari rumput, ternyata orang itu adalah tukang rumput yang bertugas mencarikan rumput kudanya Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang. Mereka tidak melewatkan kesempatan ini. Mereka bertanya banyak hal tentang Arya Penangsang. Sang pencari rumput mengatakan bahwa Gagak Rimang sangat perkasa dan larinya sangat kencang, namun kuda ini akan sulit dikendaliakn kalau melihat kuda betina binal. Ia tidak sadar bahwa orang-orang yang bertanya itu hendak mencelakai gustinya. Ki Pemanahan menawarkan akan memberikan uang yang banyak kalau ia mau memotong salah satu telinganya. Akhirnya perumput tadi mau memotongnya. Ki Pemanahan segera menulis surat dan menggantungkannya pada daun telinga tersebut. Kemudian ia menyuruh orang itu menyampaikannya pada Arya Penangsang.
Sang perumput tersebut dengan berlumuran darah menghadap Arya Penangsang. Hal ini membuat marah adipati Jipang tersebut. Ia segera mengambil senjata dan memacu kudanya yang bernama Gagak Rimang ke sungai Caket. Sambil melontarkan caci maki dan tidak sabar untuk membunuh para kerabat Sela Tersebut. Ia tidak sadar bahwa kemarahanya tersebut telah membuatnya lupa atas pesan Sunan Kudus, bahwa siapa saja yang menyeberang sungai Caket maka akan kalah dalam berperang. Akhirnya Arya Penangsang terbunuh oleh Danang Sutawijaya atas kecerdikan Ki Juru Martani.
Setelah berhasil membunuh Arya Penangsang mereka menghadap Sultan. Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dengan gelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan menunda penyerahan tanah Mataram. Sampai beberapa tahun Mataram masih ditahan oleh Sultan. Alsan Sultan melakukan hal itu karena beliau khawatir dengan ramalan Sunan Prapen, bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mengalahkan kebesaran Pajang. Kalijaga menengahi kejadian ini. Beliau meminta Sultan untuk memenuhi janjinya. Sebaliknya Ki Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Pemanahan bersedia. Maka, Adiwijaya menyerahkan tanah Mataram kepada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang bernama kerajaan Mataram. Kerajaan tersbut telah tertutup hutan bernama alas Mentaok. Ki Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa, namun bersifat perdikan atua sima Swatantra. Ia hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara Rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak.
Setelah Ki Pemanahan meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang juga anak angkat Sultan Adiwijaya yang bernama Danang Sutawijaya. Sutawijaya diberi hak untuk tidak menghadap selama satu tahun. Hal ini diberikan Sultan agar Sutawijaya dapat mengolah pemerintahanya dengan lebih baik lagi. Waktu setahun telah berlalu, namun Sutawijaya tidak menghadap. Sultan Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menangakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua pejabat itu pandai menenangkan hati Sultan melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Sultan mendengar kemajuan Mataram semaikn pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa, Arya Pamalad, serta patih Mas Manca. Ketiga orang tersebut dijamu pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta Raden Rangga (anak sulung Sutawijaya) membunuh prajurit Arya Pamalad. Sesampainya di Pajang Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan menerima laporan tersebut dan berusaha menahan diri.
Pada suatu hari seorang keponakan Sutawijaya yang bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Raden Pabelan yang bernama tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membnatu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik kandung Sutawijaya meminta bantuan padanya. Akhirnya Sutawija mengirim pasukan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangan ke Semarang. Perbuatan yang dilakukan Sutawijaya ini membuat Adiwijaya mengambil tindakan untuk menyerang Mataram. Pasukan Pajang yang jumlahnya lebih banyak, namun menderita kekalahan. Hal ini karena Sutawijaya meminta bantuan istrinya, Ratu Kidul dan para jin di gunung Merapi untuk membatu peperangan tersebut. Gunung merapi meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang. Kemudian Adiwijaya menarik pasukannya. Dalam perjalanan pulang ia singah ke makam Sunan Tembayat, namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai suatu firasat bahwa ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan pulang. Di tengah perjalanan ia terjatuh dari punggung gajag tunggangannya, sehingga ia harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datanglah mahluk halus anak buah Sutawijaya yang memukul dada Adiwijaya, sehingga sakiynta bertambah parah. Adiwijaya berwasiat supaya anak-anaknya jangan membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram merupakan takdir dari Tuhan. Selain itu, Sutawijaya sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri atau sebagai putranya yang paling tua. Sebelum meninggal Adiwijaya sebelum meninggal menetap di sebuah desa, tempat Sendang Senjaya berada dan meninggal di sana. Masyarakat setempat mengenalnya dengan makam Kyai Slamet. Makam tersebut dijadikan tempat berdoa atau mujahadah hingga sampai saat ini.

cerita rakyat rawa pening

Cerita rakyat rawa Paning terjadi pada tahun delapan saka atau delapan Jawa. Pada saat itu ada seorang warga yang yang sedang mempunyai gawe atau hajatan. Mereka kekurangan alat dapur, khususnya pisau. Kemudian seorang gadis cantik bernama Dewi Ariwulan meminjam pisau pada seorang resi yang bernama Ki Hajar Sarwokartolo. Dia adalah resi yang mempunyai padepokan di desa Aran. Nama padepokan tersebut padepokan Ngasem. Ilmu utama yang diajarkan di padepokan itu adalah manembah pada Sang Akaryo Jagad atau pada Yang Maha Kuasa.
Setelah Dewi Ariwulan sampai di padepoka, ia segera menemui Ki Hajar. Ki Hajar meminjamkan pisaunya. Ki Hajar berpesan untuk berhati-hati menggunakan pisau itu, karena pisau itu belum pernah dipakai. Selain itu ia juga berpean jangan sampai memangku pisau. Dewi Ariwulan capai dan lelah, dan secara tidak sengaja memangku pisau. Pisau itu lenyap.
Kemudian Dewi Ariwulan segera menemui Ki Hajar dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ia siap menerima hukuman untuk menebus kesalahannya. Ki Hajar tidak marah padanya. Beliau mengatakan bahwa hal itu merupakan kehendak Yang Kuasa, yang terjadi biarlah terjadi. Manusia hanyalah menjalankan apa yang ditakdirkan oleh Tuhan. Ia juga mengatakan kalau Dewi tidak perlu khawatir. Pisau itu tidak hilang dan masuk ke dalam perut Dewi dan ia akan hamil. Seketika Dewi kaget dan pingsan. Atas bantuan Ki Hajar, Dewi siuman.
Ki hajar kembali ke gunung untuk bertapa, sementara itu Dewi kembali ke desa Aran. Dia berpesan kalau anak yang dikandung Dewi Ariwulan lahir dan menanyakan siapa bapaknya, maka ia harus menjawab bahwa bapaknya sedang bertapa di gunung Sleker. Ki hajar memberikan dua buah pusaka yang berupa sumping dan genta (klintingan). Di desa Aran Dewi diperlakukan tidak baik oleh warga. Semua orang mencemooh dan menghinanya. Dewi tidak tahan dengan perlakuan warga, lalu memutuskan pergi dan menuju ke hutan rimba. Di hutan rimba ia bertemu dengan seorang kakek pencari kayu, karena kasihan ia dan teman-temannya membuatkan Dewi gubuk. Meskipun berada di hutan, namun Dewi tetap bertanggung jawab dengan bayi yang di dalam kandungannya. Ia dengan sabar merawat kandungannya. Kalau lapar ia segera mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa dimakan di hutan.
Waktu melahirkan pun tiba. Saat itu terjadilah mendung leliwungan (gelap gulita), mendung dan angin besar. Anak yang dilahirkan Dewi Ariwulan tidak berupa anak manusia, namun jabang bayi seekor ular. Jabang bayi tersebut secara lahir seukuran bayi manusia, baik berat maupun ukurannya. Namun karena getaran angin, badan jabang bayi tersbut berubah menjadi besar. Ia bisa bicara seperti manusia dan tata jalma. Ia manembah pada ibunya dengan menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan pengabdian. Setelah agak dewasa dia menanyakan siapa bapaknya. Dewi mengatakan bahwa bapak dari anaknya adalah seorang resi yang bernama Ki Hajar Sarwokartolo, yang sekarang dia sedang bertapa di gunung Sleker. Sebelum berangkat Dewi memberikan dua buah pusaka yang berupa sumping dan genta sebagai tanda bukti. Anak tersebut mencari bapaknya karena ingin mengabdi.
Setelah memohon doa restu pada sang ibu, ia berangkat. Ia lewat di parit, tebing dan lain sebagainya. Ia napak pada sebuah batu, kemudian batu tersebut dinamai batu baruklinting atau watu sisik. Selama perjalanan ia juga lewat di atas tanah dan terbentuklah kali yang sangat panjang, kemudian dinamai kali Panjang. Di masuk ke dalam tanah dan terbentuklah tuk muncul. Saat ke luar dari tanah yang muncul adalah kepalanya (sirah dalam bahasa Jawa), tempat ini dinamai desa Sirah. Kemudian, dia lewat darat dia mengatakan keparat, kamudian menjadi kali Parat. Ke arah kana nada gili besar diterjang akhirnya menjadi desa Gilang. Kemudian lewat kali Gung (kali Ageng, kali Gede) ekornya berbunyi klinting-klinting, maka terbentuk kali petit. Masyarakat mengetahui kalaio ada naga yang menggunakan klintingan dan berbunyi kalau ia berjalan maka mereka menyebut ular tersebut dengan Baru Klinting. “Baru” berasal dari berasal dari kata “bra” yang artinya keturuna Brahmana. Brahmana adalah seorang resi yang kedudukannya lebuh tinggi dari pendeta. Baru Klinting putus asa karena tidak berhasil menenmukan bapaknya. Dari kejauhan ibunya mengetahui hal itu, kemudian sang ibu menyanyikan lagu dandang gulo sebagai penyemangat. Akhirnya anaknya sadar dan bangkit lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia sampai pada sebuah gunung yang ada batunya, bentuknya seperti lawang, maka daerah tersebut diberi nama Watu Lawang. Dia naik lagi ke puncak. Di sana dia bertemu dengan seorang kakek yang sedang membakar ketela. Di depan kakek tersbut ada sebuah pohon ketela. Dia menanyakan pada kakek apa nama gunung itu. Kakek menjawab bahwa nama gunung ini adalah gunung Telomoyo. Dia juga menanyakan apakah kekek Ismoyo juga mengetahui tempat Ki Hajar Sarwokartolo. Kakek mengatakan bahwa gunung ini bukan tempat Ki Hajar bertapa. Baruklinting harus istirahat dulu. Dia akan diwejang ilmu oleh kakek Ismoyo. Setelah sampai berbulan-bulan, Baruklinting diijinkan untuk meneruskan perjalanannya.
Baruklinting sampai di gunung Sleker, di sana ia bertemu dengan ayahnya. Kemudian menyerahkan dua benda pusaka sebagai bukti kalau ia adalah anak dari Ki Hajar. Namun, Ki Hajar tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ki Hajar akan mengakui Baruklinting sebagai anak kalau ia mampu melingkari gunung Sleker. Akhirnya Baruklinting bisa melingkari gunung tersebut, namun kurang saju jengkal. Dia mngulurkan lidahnya, namun Ki Hajar memotong lidah Baruklinting. Baruklinting merasa kesakitan, tubuhnya terjungkai dan terjatuh di hutan. Lalu hutan tersebut dinamakan gunung Semampir. Tempat di mana Ki Hajar memberi dawuh (wejangan) pada Baruklinting, maka tempat tersebut dinamakan alas Dawuhan, lalu tubuhnya menjadi gunung Kleker. Kemudian Ki Hajar menyuruh Baruklinting bertapa di gunung Gajah Mungkur selama satu minggu. Selama bertapa ibunya juga mengikuti dari kejahuan. Ibunya menemukan sebuah sendang dan berendam di sendang tersebut.
Suatu hari ada sebuah pademangan yang gemah ripah loh jinawi. Setiap tahun mereka mengadakan tradisi budaya merti desa atau sedekah desa. Kegiatan ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan pada desa tersebut. Para pemuda disuruh mencari hewan buruan di hutan. Namun, hari itu mereka tidak mendapatkan satu pun ekor hewan buruan. Kemudian untuk melepas lelah, mereka beristirahat di bawah pohon besar. Pada zaman dahulu kebiasan masyarakat adalah nginang dengan buah jambe. Orang tersebut tidak menemukan landasan untuk menumbuk, dia menggunakan tanah untuk sebagai landasannya. Beberapa saat kemudian mereka melihat darah yang keluar dari dalam tanah. Ternyata setelah digali, tanah tersebut merupakan daging ular yang sangat besar. Lalu mereka memotong-motong daging raksasa tersebut dan membawanya ke desa. Daging yang dibawa para pemuda tersebut merupakan tubuh Baruklinting. Ia sedang bertapa di hutan tersebut. Kemudian Baruklinting menjelma menjadi seorang anak yang lusuh dan kudisan. Dia pergi ke desa yang sedang mengadakan sedekah desa tersebut untuk meminta makanan. Namun, tak ada satu pun penduduk yang memberinya makanan. Lalu ia pergi ke rumah seorang janda tua. Di sana ia diberi makan, meskipun ala kadarnya. Setelah makan, Baruklinting berpamitan pada wanita itu untuk melihat pertunjukan wayang di balai desa. Di sana ia disia-sia lagi oleh penduduk. Kemudian ia mengadakan sayembara dengan menancapkan lidi di depan pendopo. Ia mengatakan siapa saja yang bisa mencabut lidi tersbut akan mendapat hadiah. Namun, kalau tidak ada yang bisa mencabutnya maka mala petaka akan datang karena penduduk bersikap sombong dan tidak mempunyai sifat belas kasihan. Lalu tidak ada seorang penduduk pun yang bisa mencabut lidi. Baruklinting kemudian mencabutnya sendiri. Pada saat lidi tersebut dicabut, bumi bergetar, langit menjadi gelap, tempat dicabutnya lidi tersbut keluarlah air yang sangat besar dan menggenangi desa tersebut. Mbok Randa tersebut selamat karena sebelumnya Baruklinting telah berpesan kalau di sebelah utara ada luapan air, Mbok Randa diminta masuk ke dalam lesung. Mbok Randa pada saat mengayuh lesung terdengar bunyi tung – tang, kemudian menjadi desa Tuntang. Mbak Randa ke barat dan menetap di daerah pegunungan. Dia menjadi orang pertama yang tinggal di wilayah itu, lalu orang-orang menyebutnya sebagai danyang dan memanggilnya dengan Nyai Lembah. Pada saat di perjalanan dia melewati sebuah rawa yang sangat luas (amba) kemudian tempat tersebut dinamakan Ambarawa. Di desa yang diluapi air tersebut, ada juga orang yang berhasil menyelamatkan diri (mentas), kemudian desa itu dinamakan desa Mentas. Cabutan lidi yang dibuang oleh Baruklinting menjadi gunung Kendali Sada, cerpikannya menjadi gumuk Sukorino, Sukorini (bukit cinta) yang sekarang dinamakan gumuk Brawijaya, di sebelah barat menjadi desa Kebondowo, disebut demikian karena melewati kebun yang panjang (dowo). Asal kata rawa Pening merupakan pemberian Jaka Wening (Baruklinting) yang berasal dari bahasa Jawa ”sok sopo wae sing bisa kraga nyawa lahir batin, isoh ngepenke lahane jagat, entok kawelasih kang Maha wening” yang artinya barang siapa yang bisa menjaga lahir batin, menjaga jagat raya, dia akan mendapatnkan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa.

Kamis, 07 Januari 2010

A. Judul
CERITA RAKYAT ASAL-USUL RAWA PENING KECAMATAN TUNTANG, KABUPATEN SEMARANG (TINJAUAN STRUKTUR DAN NILAI PENDIDIKAN)

B. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan hasil budaya. Salah satunya adalah cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai kekayaan budaya mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pelajaran bagi warga negara. Namun, belakangan ini masyarakat sudah melupakannya dan cerita rakyat tidak lagi menjadi salah satu sumber pembentuk mental. Masyarakat menganggap bahwa cerita rakyat sudah kuno. Kisah yang dipaparkan hanyalah potret klise sementara, sedangkan cerita modern menawarkan variasi yang lebih menarik.
Cerita rakyat Indonesia umumnya tidak jelas dan sulit ditelusuri sumbernya. Kalaupun ada yang mengarang dan diterbitkan (yang paling banyak beredar antara lain terbitan Grasindo). Rasanya sulit untuk disamakan kelasnya dengan nama-nama lain yang sudah mendunia, sehingga keakuratan cerita sulit ditelusuri dan banyak versi dalam satu cerita yang sama. Terkadang beberapa cerita yang berbeda memiliki kemiripan, seperti kisah Roro Anteng, Roro Jonggrang, dan Dayang Sumbi (legenda Gunung Tangkuban Perahu) yang menggunakan taktik sama dalam menolak lamaran. Ciung Wanara dan Cindelaras (dikenal sebagai Panji Kelaras) juga memiliki elemen cerita yang mirip(dalam http://maygreen.wordpress.com/2007/07/07/hello-world/).
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengangkat kembali cerita rakyat adalah dengan mengkaji karya sastra tersebut secara murni atau utuh. Maksudnya yaitu membahas tentang kajian strukturalisme yang memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Suwardi Endraswara (2003: 51) mengatakan bahwa dalam penelitian struktural, penekanan pada relasi antar unsur pembangun teks sastra. Selanjutnya ia menambahkan, penelitian ini dilakukan secara objektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. Unsur-unsur tersebut di antaranya: ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa dan sebagainya.
Selain menelaah unsur-unsur intrinsiknya, cara mengkaji cerita rakyat (bagian sastra) yaitu dengan menelusuri tata nilai yang ada di dalamnya. Menurut Suyitno (1986: 3) sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi dan menjadi sesuatu yang eksistensial. Sebagai pelahiran seni, pelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang bertata nilai dan pada waktunya, sastra akan memberikan sumbangan terbentuknya tata nilai tersebut.
Rawa pening sebagai salah satu rawa di Jawa Tengah menyimpan banyak cerita. Rawa Pening memiliki riwayat yang kemudian menjadi legenda asal mula danau ini. Sebagaimana kisah yang ditularkan secara lisan, tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya yang menciptakan kisah ini. Budaya lisan yang disampaikan dari generasi ke genarasi memungkinkan legenda rawa Pening memiliki beberapa versi, namun masih memiliki kesamaan.
Salah satu versi yang banyak berkembang di masyarakat adalah terjadinya rawa Pening yang bermula dari kisah cinta antara Hajar Selakantara dengan endang Puspasari. Percintaan mereka sebenarnya kasih terlarang, karena Endang adalah abdi Hajar yang semestinya dilindungi. Hubungan mereka membuat Endang Hamil. Konon Endang melahirkan seorang anak yang berwujud naga(dalam http://groups.yahoo.com/group/LeoKristi/message/4234).
Beberapa alasan mendasar peneliti mengkaji asal-usul rawa Pening sebagai berikut: cerita rakyat adalah salah satu bentuk sastra lisan yang memiliki nilai-nilai edukatif yang perlu dikembangkan dan dilestarikan; menghindari kekaburan, ketidakteraturan dan kekacauan isi cerita; dan pengembangan serta pembinaan keutuhan kebudayaan nasional. Berdasarkan keterangan tersebut, maka penulis mengambil judul Cerita Rakyat Asal-usul Rawa Pening Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (Tinjauan Struktur dan Nilai Pendidikan).

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah struktur cerita rakyat asal-usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang?
2. Bagaimanakah nilai didik yang terdapat dalam cerita rakyat asal-usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang?

D. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Struktur cerita rakyat asal-usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang.
2. Nilai didik yang terdapat dalam cerita rakyat asal-usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang.

E. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai sarana kajian penulis dalam menerapkan salah satu pendekatan dalam karya sastra yaitu pendekatan strukturalisme dan nilai didik.
b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang cerita rakyat sebagai salah satu sastra lisan
2. Manfaat praktis
a. Bagi siswa, menambah wawasan tentang analisis cerita rakyat dengan menggunakan pendekatan strukturalisme dan nilai didik.
b. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam mengapresiasi cerita rakyat asal usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
c. Bagi guru, sebagai masukan dalam memberikan pelajaaran sastra lisan, khususnya tentang cerita rakyat.
d. Bagi bangsa dan negara, membantu melestarikan kekayaan dan kebudayaan bangsa.

F. Kajian Teori
1. Hakikat Folklor
a. Pengertian Folklor
Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk diartikan sebagai ‘rakyat’, bangsa atau kelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sedangkan lore adalah adat serta khasanah pengetahuan yang diwariskan turun temurun lewat tutur kata, contoh atau perbuatan. Folklor adalah bagian kebudayaan yang tersebar dan diadatkan turun temurun dengan cara lisan atau dalam bentuk perbuatan (Dedi Sugono(peny), 2003: 169).
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (James Danandjaja, 1997: 2).
Liaw York Fang (1991: 4) menyebut sastra rakyat (folklor) dengan nama tradisi lisan yang mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-teki permainan (games).
Folklor adalah budaya yang mampu digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas yang menciptakannya, termasuk kecenderungan penguasa (http://bolaeropa.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/humaniora/983532.htm).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut folklor adalah bagian kebudayaan yang tersebar, diadatkan turun temurun dalam bentuk perbuatan di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat, mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-teki permainan (games), serta digunakan sebagai alat untuk memahami masyarakat yang menciptakannya, termasuk kecenderungan penguasa.
b. Bentuk-bentuk Folklor
Brunvard dalam James Danandjaja (1997: 21) mengatakan bahwa folklore digolongkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1) Folklor lisan
Adalah folklor yang murni lisan, misalnya: bahasa rakyat (logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan), ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan pameo), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, dan syair), cerita prosa rakyat (mite, legenda dan dongeng), dan nyanyian rakyat.
2) Folklor sebagian lisan
Adalah folklor yang bentuknya campuran unsur lisan dan bukan lisan, misalnya: kepercayaan rakyat, permainan rakyat, tari, adapt istiadat, upacara, pesta rakyat dan sebagainya.
3) Folklor bukan lisan
Adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, meskipun demikian cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bukan lisan dibagi menjadi dua, yakni material (misalnya: arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian, perhiasan, makanan dan minuman serta obat-obatan tradisional), dan bukan material( misalnya: gerak isyarat (gestur), bunyi isyarat dan musik rakyat).


2. Hakikat Cerita Rakyat
a. Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat atau prosa cerita rakyat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan folklor. Masyarakat terkadang menyebut istilah cerita rakyat dengan nama folklor. Kalau dikaji lebih mendalam, sebenarnya berbeda. Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Berikut adalah beberapa pendapat mengenai cerita rakyat.
Tadkiroatun Musfiroh (2008: 69) berpendapat bahwa cerita rakyat adalah salah satu sastra lisan yang berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun alam. Cerita tersebut kadang mempengaruhi tingkah laku, sehingga menjadi cemin kebudayaan dan cita-cita mereka.
Cerita rakyat adalah bagian dari kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat yang penyebarannya secara turun temurun dan penyuguhannya melalui bahasa lisan (dari mulut ke mulut)(dalam http://www.bksnt.jogja.com/bksnt/agenda.detai.Php?id=36).
Cerita rakyat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung degan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut (dalam http://melayuonline.com/culture/?a=?/TiJYei9ZVEkvuX56EpWRnNX&t=cerita-rakyat).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas cerita rakyat adalah salah satu sastra lisan yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan alam, peyebarannya secara turun temurun, melalui bahasa lisan, berhubungan dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.

b. Ciri-ciri Cerita Rakyat
James Danandjaja (1997: 3-4) mengatakkan bahwa ciri-ciri cerita rakyat sebagai berikut:
1) Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan dan diwariskan melalui kata-kata dari mulut ke mulut dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
2) Bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam bentuk relative atau standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
3) Bersifat anonim, yaitu nama pengarangnya tidak diketahui lagi.
4) Mempunyanyi bentuk rumus atau berpola seperti klise, unkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat ungkapan dan kalimat pembukaan serta penutup yang baku.
5) Mempunyai kegunaan, misalnya nilai pendidikan, pelipur lara dan sebagainya.
6) Bersifat pralogis, artinya mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
7) Menjadi milik bersama karena pencipta yang pertama sudah tidak diketahui lagi dan setiap orang merasa milikinya.
8) Bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar dan terlalu spontan.
c. Bentuk-bentuk Cerita Rakyat
Cerita rakyat menurut Liaw Yock fang (1991: 4) dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1) Cerita asal-usul
Cerita asal usul (dongeng aetologis) adalah cerita rakyat yang tertua dan biasanya dimasukkan ke dalam bidang mitos. Misalnya asal-usul penciptaan bumi, matahari, bulan dan sebagainya.
2) Cerita binatang
Cerita binatang menceritakan tenang kisah binatang, misalnya: perlombaan antara kura-kura dan kelinci.

3) Cerita jenaka
Cerita jenaka menceritakan hal-hal lucu atau membangkitkan tawa, kocak dan lucu. Cerita ini muncul karena sifat manusia yang suka berlebihan, misalnya cerita Si Kabayan, Pak Kaduk dan sebagainya.
4) Cerita pelipur lara(folk romance)
Adalah cerita yang digunakan untuk menghibur hati yang lara, misalnya hikayat Awang Sulung Muda.
Hal ini berbeda dengan pendapat Bascom (dalam James Danandjaja, 1997: 50), ia membagi cerita rakyat menjadi tiga, yaitu:
Pendapat Liaw Yock Fang sedikit berbeda dengan pendapat Bascom (dalam James Danandjaja, 1997: 50) yang membagi cerita rakyat menjadi tiga golongan, yaitu mite (myth), legenda (legend) dan dongeng (folkltale). Abrams dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008: 70) juga membagi cerita rakyat menjadi tiga, yaitu mite, legenda dan dongeng. Pada penelitian ini bentuk-bentuk cerita rakyat yang digunakan adalah mite, legenda dan dongeng berdasarkan pendapat Bascom dan Abramas. Hal ini karena karena lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam bentuk legenda. Penjelasan ketiga bentuk cerita rakyat tersebut sebagai berikut:
1) Mite (Myth)
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh sang empunya cerita. Tokoh dari mite biasanya dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa dalam mite terjadi di dunia lain atau bukan dunia yang sesungguhnya dan terjadi pada masa lampau. Mite umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, topografi, gejala alam, pertualangan para dewa, percintaan dan kekerabatan para dewa tersebut(Bascom dalam James Danandjaja, 1997:50).
Vansina dalam Tadkiroatun Musfiroh (2008: 70) menyebut mite sebagai cerita rakyat yang menerangkan hakikat dunia, budaya, dan kemasyarakatan dalam kaitannnya dengan sebab-sebab religius. Ia membedakan antara mite dengan mite etologi. Menurutnya mite tidak hanya mempunyai tujuan didaktik dan moral, kehidupan para pahlawan, dan orang suci dan berhubungan antara alam natural dan supranatural, serta mengenai kehidupan beragama yang berada di atas pesan moral, sedangkan mite etologis menjelaskan hakikat ciri-ciri budaya dan ciri-ciri alam tanpa mendasarkan diri pada faktor-faktor keagamaan. Ia juga membedakan mite etologis ke dalam empat kategori yakni legenda lokal, fenomena alam, etimologi populer, dan ciri-ciri budaya.
Mite juga disebut dengan mitos, artinya cerita tentang peristiwa-peristiwa yang semihistoris yang menerangkan masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Haviland, 1993: 229). Mitos bersifat religius karena memberikan rasio pada kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan.
Masalah yang dibicarakan adalah masalah pokok tentang kehidupan manusia. Selain itu, mitos memberikan gambaran dan penjelasan tentang kehidupan alam yang teratur, dan merupakan latar belakang perilaku yang teratur pula(Haviland, 1993: 229)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mite atau mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci oleh sang empunya cerita, menerangkan hakikat dunia, budaya, dan kemasyarakatan dalam kaitannnya dengan sebab-sebab religius, memberikan gambaran serta penjelasan tentang kehidupan alam yang teratur.
2) Legenda (legend)
Legenda adalah cerita rakyat yang dianggap oleh sang pemilik cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda berbeda dengan mite. Legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadi pada masa lalu yang belum lampau dan bertempat di dunia yang dikenal sekarang( James Danandjaja, 1997: 66).
Haviland (1993: 230-231) mengatakan bahwa legenda adalah cerita semihistoris yang menerangkan perbuatan para pahlawan, perpindahan penduduk, dan terciptanya adat kebiasaan lokal dan yang istimewa, berupa campuran antara realisme, supernatural dan luar biasa. Legenda juga memuat keterangan-keterangan langsung atau tidak langsung tentang sejarah, kelembagaan, hubungan nilai, gagasan-gagasan, peribahasa, cerita-cerita insidental dan dihubungkan dengan bentuk kesenian verbal. Menurutnya legenda tidak harus dipercaya, namun hanya berfungsi menghibur, memberi pelajaran, menambah kebanggaan orang kepada keluarga, suku, atau bangsa.
Selain bersifat semihistoris, legenda juga bersifat migratoris, yaitu dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Legenda tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus(cycle), yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu (James Danandjaja, 1997: 66).
Alan Dundes (dalam James Danandjaja, 1997: 67) menyebut jumlah leganda di setiap kebudayaan lebih banyak daripada mite atau dongeng. Hal ini karena tipe dasar mite hanya terbatas pada penciptaan dunia dan terjadinya kematian, sedangkan legenda jumlah tipe dasarnya tidak terbatas, terutama legenda setempat yang jaug lebih banyak dibandingkan legenda yang dapat mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ia juga menambahkan bahwa setiap zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru atau paling sedikit suatu varian baru dari legenda lama. Jumlah dongeng jika dibandingkan legenda juga sangat terbatas jumlahnya, karena kebanyakan dongeng sebenarnya bukan dongeng baru, melainkan versi bar dari dongeng lama.
Brunvand (dalam James Danandjaja, 1997: 67) menggolongkan legenda menjadi empat golongan, yaitu a) legenda keagamaan (religius legends), b) legenda alam gaib (supernatural legend), c) legenda perseorangan(personal legends), dan d) legenda setempat(local legends).
Berdasarkan uraian di atas legenda adalah cerita rakyat yang dianggap oleh sang pemilik cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi, bersifat semihistoris dan migratoris.
3) Dongeng (folkltale)
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Pendapat selanjutnya menyatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi, diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (James Danandjaja, 1997: 83).
Dongeng merupakan kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng juga menjadi dunia khayalan dan imajinasi. Yaitu pemikiran seseorang yang kemudian di ceritakan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi. Terkadang kisah dalam dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut ke dunia fantasi, tergantung cara penyampaiannya. Kisah dongeng sering diangkat menjadi saduran, kebanyakan sastrawan dan penerbit memodifikasikannya menjadi dongeng ala modern. Salah satu dongeng yang masih diminati anak-anak ialah kisah 1001 malam. Sekarang kisah asli dari dongeng tersebut hanya di ambil sebagin-sebagian, kemudian di modifikasi dan ditambah, bahkan ada yang di diganti sehingga melenceng jauh dari kisah dongeng aslinya. sekarang kisah aslinya seakan telah ditelan oleh usia zaman dan waktu(dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dongeng.21).
Berdasarkan pendapat di atas dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan yang tidak dianggap benar-benar terjadi, diceritakan terutama untuk hiburan, melukiskan kebenaran, berisikan sindiran dan menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya.
James Danandjaja (1997: 84).menyebut ada beberapa istilah yang bersinonim dengan dongeng dalam berbagai bahasa di dunia, seperti fairy tales (cerita peri), nursery tales (cerita anak-anak), atau wonder tales (cerita ajaib) dalam bahasa Inggris; marchen dalam bahasa Jerman, aevertyr dalam bahasa Denmark; sprookje dalam bahasa Belanda; siao suo dalam bahasa Mandarin; satua dalam bahasa Bali, dan lain-lain.
Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise. Pada bahasa Inggris dimulai dengan kalimat pembukaan: Once upon a time, three lived a…..pada suatu waktu hidup seorang….) dan kalimat penutup….and they lived happily ever after (….dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya). Dongeng Jawa juga terdapat kalimat pembukaan, Anuju sawijining dina….(pada suatu hari…..), dan diakhiri dengan kalimat penutup: A lan B hidup rukun bebarengan kaya mimi lan mintuna (….A dan B hidup bersama dengan rukun bagaikan ketam belangkas jantan dan ketam belangkas betina.
Anti Aarne dan Stith Thompson (dalam James Danandjaja, 1997: 83) membagi dongeng menjadi empat, yaitu:
a) Dongeng Binatang
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan, dan serangga. Binatang dalam cerita ini dapat berbicara dan berakhlak budi seperti manusia. Misalnya, di Eropa (Belanda, Jerman, dan Inggris) rubah (fox) yang bernama Reinard de Fox, Di Indonesia ada pelanduk (kancil) dengan nama sang kancil. Binatang-binatang itu semuanya mempunyai sifat yang cerdik, licik, dan jenaka.
b) Dongeng Biasa
Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling populer adalah yang bertipe ”Cinderella” dan bermotif Unpromising heroin (tokoh wanita yang tidak ada harapan dalam hidupnya). Dongeng ini bersifat universal, karena tersebar bukan saja di Indonesia, tetapi juga di segala penjuru dunia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya adalah dongeng”Ande-Ande Lumut” dan ”Si Melati dan Si Kecubung”, di Jakarta ”Bawang Putih dan Bawang Merah”, dan di Bali ”I Kesuna lan I Bawang.
c) Lelucon dan anekdot
Lelucon dan anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati (James Danandjaja, 1997: 117). Penggolongan lelucon dan anekdot bermacam-macam. Pertama, berasal dari Antti Aarne dan Stith Thomson dan yang kedua berasal dari Jan Harord Brunvand (dalam James Danannjaja, 1997: 117). Aarne dan Thomson mengklasifikasikan lelucon dan anekdot ke dalam sepuluh golongan, sebagai berikut:
i) Cerita orang sinting (numskull stories), yang termasuk dalam cerita golongan ini adalah cerita orang setengah sinting sampai orang sinting.
ii) Cerita sepasang suami-istri (stories about married couples). Cerita ini berisi kisah sepasang suami istri yang mempunyai kode sendiri dalam komunikasinya. Hal tersebut hanya diketahui oleh mereka karena bersifat pribadi. Misalnya, kode untuk melakukan sanggama.
iii) Cerita seorang wanita (stories about a women girl). Misalnya, kisah tentang seorang wanita tua yang ikut antri ketika ada penangkapan pelacur. Nenek tersebut ikut antri ketika ada pemeriksaan karena ada salah satu pelacur yang membohonginya. Pelacur tersebut berkata bahwa ada pembagian permen sehingga sang nenek juga tertarik untuk ikut antri.
iv) Cerita seorang pria atau anak laki-laki (stories about a man). Misalnya, ”Kisah Si Sahetapi”, yaitu seorang pemuda yang rela terjun ke laut untuk menyelamatkan anak laki-laki yang jatuh. Semua orang berterima kasih dan memujinya. Bahkan dia dianggap pahlawan dan mendapat bintang dari kapten kapal. Setelah giliran Sahetapi memberikan sambutan, ternyata dia berbicara yang membuat semua orang tertawa. Ternyata dia menolong anak yang jatuh dari laut bukan atas dasar kehendaknya sendiri melainkan didorong oleh seseorang. Kemudian, Sahetapi sangat marah.
v) Cerita seorang lelaki yang cerdik (The clever man). Misalnya, lelucon tentang mahasiswa yang sedang menempuh ujian. Seorang profesor menguji mahasiswa tersebut dengan pertanyaan yang aneh. Pertanyaanya; (1) apa sebabnya wanita seringkali rebut? (2) tua mana mulut bawah dan mulut atas wanita? (3) apa benar mulut bawah wanita lebih tua dari pada mulut atas? Semua pertanyaan tersebut kurang masuk akal, begitu juga dengan jawabannya.
vi) Cerita kecelakaan yang menguntungkan (Lucky accidents). Misalnya, Cerita yang berasal dari Sumenep, Madura yang berjudul” Dongeng Moden Karok”.
vii) Cerita lelaki bodoh (The Stupid man). Cerita ini tentang seorang laki-laki yang datang ke puskesmas untuk ikut keluarga berencana. Seorang perawat memberinya kondom dan memberi contoh cara pemakaiannya dengan memasukkannya dalam jari. Setelah beberapa bulan, laki-laki tersebut datang dengan kemarahannya. Perawat tersebut bertanya bagaimana cara memakai kondom tersebut. Laki-laki tersebut menjawab dengan lugunya bahwa cara memakainya sama dengan apa yang dicontohkan oleh perawat itu.
viii) Lelucon mengenai pejabat agama dan badan keagamaan (Jokes about persons and religious orders). Cerita tentang seorang pastor dan haji yang saling menyindir pelajaran dalam agamanya. Seorang haji tidak boleh makan sosis babi, dan seorang pastor tidak boleh menikah.
ix) Anekdot mengenai kolektif lain (Anecdotes about other groups of peoples). Misalnya, lelucon tentang kolektif atau folk lain, seperti orang Cina, Batak, profesor, dan tukang becak.
x) Cerita dusta (Tales of lying). Misalnya, cerita tentang seorang duda yang melakukan senggama dengan sapi betina sampai sapi tersebut hamil. Setelah lahir ternyata anak sapi tersebut memanggil duda tersebut dengan sebuta bapak.
d) Dongeng berumus
Menurut James Danandjaja (1997: 139) dongeng berumus adalah dongeng-dongeng yang disebut oleh Antti Aarne dan Stith Thomson disebut formula tales, dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng berumus mempunyai beberapa subbentuk, yakni: i) Dongeng bertimbun banyak (Cumulative tales), ii) Dongeng untuk mempermainkan orang (Catch tales), dan iii) Dongeng yang tidak mempunyai akhir (Endless tales).
d. Fungsi Cerita Rakyat
Cerita rakyat mempunyai manfaat atau fungsi bagi kehidupan, khususnya manusia. Cerita rakyat dituturkan dalam upaya menyampaikan berbagai pesan, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai keteladanan dan kehidupan. Selain itu, cerita rakyat juga digunakan sebagai hiburan (dalam http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1102106-103544/).
Bascom (dalam James Danandjaja, 1997: 19) cerita rakyat termasuk ke dalam golongan folklor mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) sebagai sistem proyeksi (prohective system), yaitu digunakan sebagai alat pencermin angan-angan suatu masyarakat tertentu, 2) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, 3) sebagai alat untuk mendidik, dan 4) sebagai alat pengawas dan pemaksa agar norma-norma yang terdapat dalam suatu masyarakat dipatuhi oleh warganya.
Dalam (http://222.124.224.207/sejarah/) disebutkan bahwa fungsi cerita rakyat yaitu: 1) melukiskan kondisi fakta mental masyarakatnya, 2) simbol identitas masyarakat, 3) simbol solidaritas masyarakat,
dan 4) menjadi alat legitimasi bagi keberadaan masyarakat.




3. Hakikat Nilai Pendidikan
a. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang baik dan buruk. Manusia menganggap bahwa nilai menarik jika sebagai subjek, artinya menyangkut segala sesuatu yang baik dan buruk sebagai abstraksi, pandangan dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku (Papper dan Perry dalam Munandar Soelaeman, 1987: 19).
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun secara fungsional mempunyai ciri yang mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain. Nilai jika dihayati dengan baik oleh seseorang, maka akan berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak demi mencapai tujuan hidupnya. Bloom (dalam Munandar Soelaeman, 1987: 44) mengatakan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotor atau kognitif, tetapi juga untuk perealisasiannya dengan penuh kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang afektif.
Menurut Kattsoff (1992: 332) nilai jika disimpulkan mempunyai empat arti yaitu: 1) nilai mengandung nilai, artinya berguna; 2) nilai artinya baik, benar dan indah; 3) nilai merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil sikap ‘menyetujui’ atau mempunyai sifat tertentu; 4) nilai artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, nilai adalah segala sesuatu yang baik dan buruk sebagai abtraksi, pandangan berbagai pengalaman yang dimiliki manusia, yang berguna, baik, benar, indah, sebagai objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan orang mengambil sikap ‘menyetujui’ dan mampu menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau yang menggambarkan nilai tersebut.
b. Pengertian Pendidikan
Wiwit Sulistya (2008: 24) berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa untuk mengembangkan potensi-potensi dalam diri anak didik menuju ke arah kedewasaan, sehingga anak dapat mencapai kebahagiaan sebagai manusia dan anggota masyarakat.
Pendidikan merupakan suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah pertumbuhan dan perekembangan (Soedomo Hadi (2003: 18).
JSudarminta (dalam http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3205) pendidikan nilai-nilai kehidupan sebagai bagian integral kegiatan pendidikan pada umumnya adalah upaya sadar dan terencana membantu anak didik mengenal, menyadari, menghargai, dan menghayati nilai-nilai yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku sebagai manusia dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Pendidikan nilai akan membuat anak didik tumbuh menjadi pribadi yang tahu sopan-santun, memiliki cita rasa seni, sastra, dan keindahan pada umumnya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia, memiliki cita rasa moral dan rohani.
Berdasarkan pendapat di atas, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa untuk mengembangkan potensi-potensi dalam diri anak didik menuju ke arah kedewasaan, melalui pengajaran dan pelatihan, sehingga anak didik tumbuh menjadi pribadi yang mengetahui dan memahami sopan-santun, memiliki cita rasa seni, sastra, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia, memiliki cita rasa moral serta rohani.
c. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra
Karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang harus dikembangkan. Nyoman tushi Eddy (1983: 15) mengatakan bahwa sastra harus bersifat mendidik. Karya Sastra harus bisa dijadikan sebagai wahana untuk meneruskan dan mewariskan tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi berikutnya, yang berupa gagasan, pemikiran, bahasa, pengalaman, sejarah, nilai moral, dan budaya.
Nilai sastra menyajikan suatu formula yang mampu memberikan rasionalisasi terhadap reaksi pembaca. Hal ini berarti jika sebuah proposisi mampu merasionalisasikan reaksi evaluatif pembaca dalam kaitannya dengan sebuah teks tertentu, proposisi itu menyatakan sesuatu tentang nilai yang dilekatkan pembaca terhadap teks (T. Segers, 2000: 61-62).
Nilai yang terdapat dalam karya sastra harus mampu membuat manusia (pembaca) mencapai hidup yang lebih baik sebagai manusia yang mempunyai akal, pikiran, dan perasaan. Selain itu, karya sastra harus memberikan kenikmatan estetis dan hiburan, meningkatkan kepekaan estetik, serta memperluas pengalaman dan cara berpikir. Suyitno (1986: 3) berpendapat sastra sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi dan sebagainya, sehingga secara umum nilai pendidikan dalam karya sastra adalah: 1) nilai religius/agama; 2) nilai sosial; 3) nilai moral/etika; dan 4) nilai budaya.
1) Nilai Religius/Agama
Nilai religius menanamkan sikap pada manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh kepada sesama. Manusia akan saling mencintai dan menyayangi. Dengan kata lain, manusia akan mampu menjalin hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan mahluk lain.
Dojosantoso (dalam Tirto Suwondo, 1994: 63) menyatakan bahwa religius merupakan keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Manusia religius berarti mempunyai keterkaitan dengan Tuhan baik jasmani maupun rohani.
Salah satu cara untuk menumbuhkan nilai religius adalah dengan mempelajari atau mengapresiasi karya satra. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 327) berpendapat bahwa kehadiran unsur religius dan keagamaan sesuai keberadaan sastra itu sendiri. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius dan awal mula segala sastra adalah religius.
Berdasarkan pendapat di atas nilai religius/agama adalah nilai yang menjalin hubungan manusia sebagai mahluk Tuhan yang bertakwa. Hal ini berarti manusia mampu menjalankan perintah Tuhan dan menjahui larangannya, sehingga manusia menjadi tenteram dan bahagia.
2) Nilai Sosial
Arifin L. Bertrand (dalam Munandar Soelaeman, 1987: 9) mengemukakan bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.
Karya sastra mempunyai keterkaitan dengan nilai sosial. Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya yaitu sistem kekerabatan, ekonomi, politik, pendidikan, kepercayaan, dan lainnya( Atar Semi , 1993: 55).
Mempelajari karya sastra berarti berusaha memahami kehidupan sosial yang terdapat di masyarakat. Dengan menekuni karya sastra manusia dapat membina kepekaan sosialnya, sehingga terjalin suatu hubungan harmonis dan selaras.
3) Nilai Moral/Etika
Nilai moral atau etika yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku manusia yang dipandang dari nilai baik dan buruk, benar dan salah serta berdasarkan adat kebiasaan individu itu berada. Penngembangan nilai moral sangat penting agar manusia memahami dan menghayati etika berinteraksi dan berkomunikasi di masyarakat, sehingga terjalin hubungan yang selaras, harmonis dan seimbang (Wiwit Sulistyo, 2008: 28).
Tadkiroatun Musfiroh (2008: 65) berpendapat bahwa aspek perkembangan moral merupakan penerapan secara optimal prinsip-prinsip yang abstrak menyangkut benar-salah, serta tatanan moral itu sendiri dan sosial yang lain.
Menurut Yant Mujianto (1983: 33) sastra berangkat dari iktikad baik, tidak sunyi dari untaian hikmah di antara seru derunya konflik atau peristiwa cerita. Penyampaian nilai moral oleh pengarang berupa kritikan yang terdapat dalam dialog tokoh-tokoh, kadang hanya sepintas lalu menyebutkan sepatah atau beberapa kata di tengah cerita, namun ada juga pengarang yang menuliskan nilai moral tersebut secara terselubung, sehingga pembaca harus memahami keseluruhan cerita tersebut.
Berdasarkan uraian di atas nilai moral/etika adalah nilai baik dan buruk, benar dan salah berdasarkan adat kebiasaan individu atau masyarakat tersebut tinggal.
4) Nilai Budaya
Koentjaraningrat (1990: 25) mengatakan bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain, sebab karakteristik nilai budaya tiap kelompok masyarakat tidak sama( Rosyadi, 1995: 74).
Berdasarkan kedua pedapat di atas nilai budaya adalah sistem nilai yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pemikiran, diangap baik, berharga dan menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan atau tingkah laku masyarakat tersebut.
4. Hakikat Analisis Struktural
Analisis struktural merupakan suatu pendekatan objektif, artinya pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai sebuah struktur. Hal ini menyangkut penerapannya terhadap analisis struktural yang otonom. Analisis ini menyangkut satu kesatuan bulat antara unsur-unsur pembangun yang saling terjalin atau berkaitan (Rachmad Djoko Pradodo, dkk (2001: 54).
Burhan Nurgiyantoro (2005: 36-37) juga menyebut strukturalisme sebagai suatu pendekatan yang menekankan pada kajian antarunsur pembangun karya yang bersangkutan, atau disamakan dengan pendekatan objektif. Ia mengungkapkan bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh faham formalis Rusia dan Praha. Mereka mendapat pengaruh langsung dari teori Sausure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan hubungan antar-unsurnya.
Partini Sardjonoi Pradotokusumo (2005: 65) mengatakan di Eropa Barat dan Amerika Serikat muncul aliran-aliran yang menekuni analisis, tafsiran, dan evaluasi tiap-tiap karya sastra. Pendekatan ini disebut ergosentrik (ergon (dalam bahasa Yunani) artinya karya itu sendiri. Aliran ini membatasi diri pada karya sastra itu dan sedapat mungkin mengesampingkan data biografi dan historik.
Strukturalisme dalam pandangan sastra dipandang sebagai teori atau oendekatan. Munurut Suwardi Endraswara (2003: 49) hal ini tidak salah, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pendekatan strukturalisme menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah analisisnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka analisis struktural adalah suatu pendekatan dalam penelitian sastra yang memebri perhatian penuh pada karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, yang berarti mengkaji antarunsur pembangun yang berkaitan, dan sedapat mungkin mengesampingkan data biografik dan historisnya atau dengan kata lain disebut dengan pendekatan objektif.
Analisis struktural karya sastra (fiksi) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi tersebut, seperti bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang pengarang dan lain-lain, sehingga membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Selain itu, ada hal yang lebih penting, yaitu menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruan yang ingin dicapai (Burhan Nurgiyantoro: 2007: 37).
Menurut Suwardi Endraswara (2003: 52-53) langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural sebagai berikut: a. Membangun teori struktur yang sesuai dengan genre yang diteliti; b. Melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung di dalamnya; c. Unsur tema sebaiknya dilakukan lebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain; d) setelah menganalisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya bahasa, setting, dan sebagainya; e. Semua penafsiran harus didihubungkan dengan unsur lain agar terbentuk makna yang padu; f. Penafsiran harus dilakukan dalam keadaan sadar bahwa keterkaitan antar unsur sangat penting.
Atar Semi (1993: 134) berpendapat bahwa segi yang membangun karya sastra itu ada empat, yaitu tema, alur, latar dan penokohan. Herman J. Waluyo (2006: 4) menambahkan, selain tema, plot, penokohan dan perwatakan, seting, unsur pembangun sastra yang lain adalah sudut pandang pengarang, latar belakang, dialog, gaya bahasa waktu cerita serta amanat. Pendapat-pendapat tersebut tidak kalah berbeda dengan uraian Surana (2001: 50) yang menjelaskan bahwa unsur intrinsik karya sastra (cerita fiksi0 mencakup tema, latar, cara bercerita, alur (plot), penokohan atau karakterisasi, suasana dan gaya bahasa. Pada pembahasan ini yang akan dibahas hanya beberapa unsur saja, seperti tema, alur, latar, penokohan dan amanat, karena unsur-unsur ini yang dimungkinkan ada dalam cerita rakyat, berikut penejalasannya.
a. Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam karya sastra. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul (Herman J. Waluyo, 2006: 4). Menurut Dick Hartoko (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 68) tema adalah gagasan dasar umum yang menupang sebuah karya sastra dan terkandung dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaan dan perbedaan, sedangkan Henry Guntur Tarigan (1993: 160) mengatakan bahwa tema biasanya merupakan suatu komentar mengenai kehidupan atau orang-orang. Tema merupakan pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.
Tema merupakan gagasan utama yang membangun sebuah karya sastra. Tema berfungsi sebagai pedoman para pengarang dalam menggarap sebuah cerita dan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur (Suminto A. Sayuti, 2000: 188).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut tema adalah gagasan pokok atau utama yang membangun sebuah cerita dalam karya sastra.
Burhan Nurgiyantoro (1995: 77-78) menggolongkan tema menjadi dua, yaitu tema tradisional dan tema non-tradisional. Tema tradisional adalah tema yang menunjuk pada tema “itu-itu “ saja. Artinya tema tersebut telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan tema yang bersifat tradisional dan klise, misalnya: 1) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan; 2) cinta sejati menuntut pengorbanan; dan lain sebagainya. Tema non-tradisional merupakan tema yang melawan arus, absurd, anti logika, dan kontroversial.
Berdasarkan tingkat keutamaannya, tema dibagi menjadi dua, yaitu tema minor dan tema mayor. Tema minor adalah tema yang hanya berfungsi sebagai pemerkuat kedudukan tema mayor, sedangkan tema mayor adalah tema yang menjiwai cerita dari awal sampai akhirnya menjadi abstraksi dari seluruh permasalahan cerita (J. U. Nasution dalam Sugeng Muryanto dan Mukti Widiyati, 1998: 18).
b. Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8). Atar Semi juga berpendapat bahwa alur yaitu rentetan peristiwa dari awal sampai akhir (1993 : 161). Boulton juga mengatakan bahwa plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang (Herman J. Waluyo, 2002: 145).
Panuti Sudjiman (1991: 29) berpendapat bahwa deretan peristiwa yang dialami tokoh cerita dapat tersusun berdarkan urutan waktu terjadinya. Hal ini tidak berarti semua kejadian atau peristiwa di dalam hidup seorang tokoh cerita ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran sampai akhir hayatnya. Namun, peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperhatikan kepentingan di dalam membangun cerita.
Berdasarkan beberap pendapat di atas, plot atau alur adalah jalinan cerita mulai awal hingga akhir, yang merupakan jalinan konflik antar tokoh yang berlawanan atau deretan peristiwa yang tersusun berdasrkan urutan waktu terjadinya.
Unsur-unsur plot meliputi hal-hal berikut ini: (1) exposition atau pelukisan awal, yakni pengenalan tokoh; (2) komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) resolusi atau penyelesaian atau falling action; (5) catastrophe atau denoument atau keputusan (Herman J. Waluyo, 2002 : 8). Lebih sederhana dari dua pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa alur dalam karya sastra terdiri dari eksposisi (permulaan), komplikasi (pertengahan), dan resolusi atau denoument (akhir atau ending).
Berangkat dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot dalam drama terdiri dari: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) konflik atau pertikaian awal; (3) komplikasi; (4) klimaks atau titik puncak cerita; dan (5) penyelesaian atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran.
c. Penokohan
Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh. Mengkaji sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh, karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Burhan Nurgiyantoro, 2002:165).
Berdasar kutipan tersebut dapat diketahui antara seorang tokoh dan kualitas pribadinya memiliki kaitan yang erat dalam penerimaan pembaca. Berawal dari perbedaan-perbedaan karakter dan kepentingan tokoh inilah, selanjutnya menjadi penyebab konflik dalam sebuah cerita. Menurut Jones, Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1998:165).
Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari pengarang.
Penokohan yang baik adalah yang dapat menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai penokohan.
Ada beberapa jenis tokoh yang terdapat dalam drama. Henry Guntur Tarigan mengatakan ada empat jenis tokoh dalam drama yaitu the foil atau tokoh pembantu; the type character atau tokoh serba bisa; the static character atau tokoh statis; dan the character who developes in the course of the play atau tokoh berkembang. Lebih lengkap lagi Herman J. Waluyo membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita, ada beberapa jenis tokoh yaitu tokoh protagonis (tokoh pendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu). Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut: (1) tokoh sentral yakni tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2) tokoh utama yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tokoh tritagonis; (3) tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap tau tambahan dalam mata rantai cerita.
Perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama (Asul Wiyanto, 2004: 27). Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional), dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/ pendek, kurus / gemuk, suka senyum / cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.
d. Setting
Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan atau peristiwa (2004: 28). Hampir senada dengan Asul Wiyanto, Herman J. Waluyo berpendapat bahwa setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu : tempat, ruang, dan waktu (2002 : 23). W.H. Hudson menyatakan bahwa setting adalah kesekuruhan lingkungan cerita yang meliputi adapt istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup (Herman J. Waluyo, 2002 : 198). Adapun mengenai fungsi setting, Montaque dan Henshaw menyatakan tiga fungsi setting, yakni mempertegas watak pelaku; memberikan tekanan pada tema cerita; dan memperjelas tema yang disampaikan. Mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Abrams (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216 ) mengatakan bahwa latar merupakan tumpuan yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Pendapat di atas sejalan dengan Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.
Penggambaran setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis (Herman J. Waluyo, 2002 : 200). Jadi imajinasi penulis atau pengarang karya sastra sangat menentukan bagaimana atau apa yang akan menjadi latar atu setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Dalam drama khususnya pengimajinasian setting yang mungkin dalam arti dapat diwujudkan dalam pentas haruslah diperhatikan oleh penulis naskah drama. Penggambaran setting paling tidak menggambarkan tinga dimensi yaitu tempat ruang dan waktu. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa latar adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang atau tempat, dan suasana.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa latar adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang atau tempat, dan suasana. Unsur-unsur dalam latar, seperti waktu, ruang dan suasana, saling mendukung dalam membentuk satu kondisi yang mendukung cerita secara keseluruhan.
e. Amanat
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makana yang termuat dalam karya sastra tersebut (dalam http://sastradewa.blogspot.com/2008/03/pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra.html).
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita(dalam http://oyoth.wordpress.com/2008/02/01/tema-dan-amanat/).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut amanat adalah makna atau pesan yang ingin disampaikan pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya.

G. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Wiwit Yulistio (2008; skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret). Judul penelitian ini adalah “Analisis Struktural dan Nilai Didik Cerita Rakyat Sendang Panguripan dan Asal-Usul Pesanggrahan Langenharjo di Kabupaten Sukoharjo: Sebagai Alternatif Bahan Pengaharan di SMA. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan struktur cerita rakyat dalam sendang Panguripan, mendeskripsikan nilai didik yang terdapat cerita rakyat dalam sendang Panguripan, mendeskripsikan asal-usul struktur cerita rakyat dalam Pesanggrahan Langenharjo, mendeskripsikan nilai didik yang terdapat dalam cerita rakyat asal-usul Pesanggrahan Langenharjo di Kabupaten Sukoharjo, dan mengidentifikasi serta mendeskripsikan kedua cerita rakyat tersebut sebagai alternatif bahan pengaharan sastra di SMA. Hasil penelitian ini yaitu: a struktur cerita rakyat dalam sendang Panguripan bertema moral, beralur maju, latar di Kota Gede, Jogjakarta, desa Ganggasan dan desa Bekonang (1613-1645), tokoh utamanya adalah Kyai Konang dan Anggaspati, sedangkan tokoh tambahannya adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Nilai didik yang diperoleh yaitu nilai religius, moral, social dan budaya. Struktur cerita asal-usul Pesanggrahan Langenharjo adalah bertema sosial, beralur campuran, berlatar Kedung Ngelawu, desa Klarean, lereng Gunung Merapi, tokoh utamanya adalah pangeran Doeksino (Paku Buwono IX), tokoh tambahannya adalah ayah Doeksino (Gusti Supardan VI). Nilai didiknya adalah religi, social, moral, budaya. Hasil penelitian yang terakhir tentang pemanfaatan certia rakyat sendang Panguripan dan asal-usul Pesanggrahan Langenharjo sebagai alternatif pengajaran sastra di SMA yaitu dapat dimanfaatkan sebagai alternative pengaharan sastra, belajar seharah dan kebudayaan masa lalu. Penerapan kedua cerita rakyat tersebut yang letak sekolahnya dekat dengan daerah asal yang variatif siswa bisa observasi lagsung dan wawancara dengan narasumber.
2. Penelitian yang dilakukan oleh M Rozaq Karim(2006: Skripsi, Kajian Struktur Sastra dan Nilai Edukatif pada Legenda Joko Tingkir di Dukuh Butuh, desa Gedongan, kecamatan Plupuh, Kab. Sragen. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui struktur legenda Joko Tingkir di Dukuh Butuh, desa Gedongan, kecamatan Plupuh, Kab. Sragen, dan nilai didik legenda Joko Tingkir di Dukuh Butuh, desa Gedongan, kecamatan Plupuh, Kab. Sragen. Hasil penelitian ini adalah bertema fisik, beralur lurus, hanya ada tokoh protagonis saja, berlatar waktu hari, berlatar tempat di Demak, Banyubiru, desa Tosaji, desa Krendetan, desa Pengkol, desa Gungaran, Kedung Srengenge, dan desa Buluh. Latar social Joko Tingkir adalah keturunan bangsawan. Nilai didik legenda Joko Tingkir adalah nilai moral, estetis, religius, dan social.

H. Kerangka Berpikir
Folklor merupakan salah satu karya sastra yang perlu dikembangkan, yaitu dianalisis secara struktural dan dicari nilai didiknya. folklor adalah bagian kebudayaan yang tersebar, diadatkan turun temurun dalam bentuk perbuatan di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat, mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-teki permainan (games), serta digunakan sebagai alat untuk memahami masyarakat yang menciptakannya, termasuk kecenderungan penguasa.
Folklor dibagi menjadi tiga, yaitu folkor lisan, sebagian lisan dan folklor bukan lisan. Folklor lisan, misalnya: bahasa rakyat (logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan), ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan pameo), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, dan syair), cerita prosa rakyat (mite, legenda dan dongeng), dan nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan, misalnya: kepercayaan rakyat, permainan rakyat, tari, adapt istiadat, upacara, pesta rakyat dan sebagainya. Folklor bukan lisan,misalnya: arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian, perhiasan, makanan dan minuman serta obat-obatan tradisional, gerak isyarat (gestur), bunyi isyarat dan musik rakyat.
Cerita rakyat asal-usul rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten semarang merupakan salah satu jenis folklor lisan yang digolongkan ke dalam legenda.













.








Gambar. 1 Kerangka Berpikir

I. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Adapun waktu yang dibutuhkan adalah enam bulan, yaitu mulai bulan Juli-Desember 2009, rinciannya sebagai berikut:

No. Kegiatan Juli 2009 Agust. 2009 Sept 2009 Okt. 2009 Nov. 2009 Des. 2009
1. Observasi awal xxxx
2. Pembuatan proposal xxxx xx--
3. Persiapan izin penelitian --xx x---
4. Pengumpulan data -xxx xxxx
5. Analisis data xxxx xxxx
6. Verifikasi data xxxx
7. Penyusunan laporan xxxx

Tabel. 1 Jadwal Kegiatan dan Waktu Penelitian

2. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk dan strategi dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan secara nyata fakta-fakta yang ada. Penelitian dilakukan melalui wawancara, mencatat dan mengamati lokasi penelitian, sedangkan strategi yang digunakan adalah analisis isi. Peneliti menganalisis isi dan pesan cerita rakyat.

3. Sumber Data
Sutopo (1996: 49-51) berpendapat bahwa jenis-jenis sumber data dalam penelitian kualitatif sebagai berikut:
a. Informan
Informan yaitu orang atau warga yang memberikan informasi mengenai segala permasalahan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian. Informan dibedakan atas informan pokok dan informan tambahan. Informan pokok diartikan sebagai warga yang mempunyai informasi penelitian secara mendalam. Informan tambahan yaitu informan yang mempunyai atau mengetahui adanya cerita rakyat tersebut.
b. Dokumen
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, foto dan hasil wawancara.
c. Tempat
Tempat dalam penelitian ini adalah rawa Pening, kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang.
d. Peninggalan Budaya
Peninggalan budaya dalam penelitian ini adalah cerita rakyat tentang terbentuknya rawa Pening dan rawa pening itu sendiri.

4. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yaitu dengan purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik yang dilakukan untuk memilih informan yang dinilai mempunyai pengalaman atau pengetahuan yang sesuai dengan objek penelitian, sedangkan snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang pelaksanaanya berlanjut dan berpindah-pindah dari informan satu ke informan lain. Peneliti melakukan ini agar data yang diperoleh lebih akurat. Informan yang satu mengusulkan menemui informan lain yang lebih memahami tentang objek penelitiannya dan terus-menerus sampai data yang diperoleh dirasa cukup.

5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a. Teknik wawancara mendalam (in-deth interview)
Peneliti melakukan komunikasi secara langsung dengan informan melalui dialog atau tatap muka (face to face). Biasanya dalam teknik ini muncul pertanyaan yang tidak berstruktur (dengan cara informal), namun masih mengarah pada kedalaman informasi (Sutopo, 1996: 56).

b. Teknik pengamatan langsung atau observasi langsung
Teknik pengamatan langsung digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda dan rekaman gambar. Peneliti juga harus mencatat dan memotret data-data yang dianggap penting agar dapat dikaji lebih mendalam.
c. Teknik analisis isi
Teknik analisis isi digunakan untuk menganalisis berbagai dukumentasi yang berkaitan dengan penelitian, yaitu unsure-unsur intrinsic dan nilai didik yang terkandung dalam cerita rakyat.

6. Uji Validitas Data
Uji data yang digunakan adalah trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu (Lexy Moleong, 2002: 178). Trianggulasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Trianggulasi sumber
Yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara atau hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
b. Trianggulasi Metode
Peneliti menggunakan data yang berbeda untuk memperoleh data yang sejenis, misalnya dengan wawancara, observasi dan analisis dokumen.
c. Review informan
Peneliti melakukan review atau pengkajian ulang kepada informan tentang data yang diperoleh agar mendapatkan perbaikan jika ada kesalahan atau informasi yang kurang, serta data lebih valid.

7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis model interaktif(interaktif model of nalysis). Teknik ini terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan verifikasi.
a. Peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan langsunng dan pengumpulan dokumen.
b. Reduksi data
Adalah proses pemilihan, pemusatan, pemerhatian pada penyederhanaan, pengabtrakan dan transformasi data.
c. Sajian data
Adalah adanya informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d. Verifikasi atau penarikan kesimpulan
Kesimpulan terakhir setelah pengumpulan data, reduksi data dan sajian data.

Gambar. 2 Model Analisis Interaktif
(Mattew B. Miles dan A Michael Huberman, 1992: 20)





J. KELOMPOK
1. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Ernawati
b. NIM : K 1205014
c. Tempat Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 23 September 1986
d. No. Telp. : 085647457381
e. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
g. Waktu untuk kegiatan PKM : 5 jam/ minggu
2. Anggota Pelaksana
Anggota Pelaksana I
a. Nama Lengkap : Ari Setiyaningsinh
b. NIM : K 1205007
c. Tempat Tanggal Lahir : Gombong, 11 Januari 1988
d. No. Telp. : 085647205538
e. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
g. Waktu untuk kegiatan PKM : 5 jam/ minggu

Anggota Pelaksana II
a. Nama Lengkap : Dian Dewi Utami
b. NIM : X 1206004
c. Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 25 Januari 1988
d. No. Telp. : 021 8807915
e. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
g. Waktu untuk kegiatan PKM : 5 jam/ minggu
Anggota Pelaksana III
a. Nama Lengkap : Niken Sarasvati Devi
b. NIM : K 1207003
c. Tempat Tanggal Lahir : Purbalingga, 13 Juni 1989
d. No. Telp. : 085740004008
e. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
g. Waktu untuk kegiatan PKM : 5 jam/ minggu

Anggota Pelaksana IV
a. Nama Lengkap : Yunita Nurul Khomsah
b. NIM : K 1207042
c. Tempat Tanggal Lahir : Wonosobo, 27 Juni 1988
d. No. Telp. : 085292594808
e. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
g. Waktu untuk kegiatan PKM : 5 jam/ minggu

K. NAMA DAN BIODATA DOSEN PENDAMPING
1. Nama Lengkap : Drs. Slamet Mulyono, M.Pd
2. NIP : 131 913 144
3. Alamat Rumah : Jagalan Rt 02, Rw XIV Jebres Surakarta
4. No Telp/HP : (0271) 626337/081329039177
5. Jabatan Struktural : Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
6. Fakultas/ Program Studi : KIP/ Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
7. Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
8. Bidang Keahlian : Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
9. Waktu untuk kegiatan PKM : 3 jam/ minggu

L. BIAYA
1. DIKTI Rp. 6.000.000,00
2. PENGELUARAN
a. Pembuatan proposal Rp. 1.000.000,00
b. Transportasi Rp. 1.500.000,00
c. Pembuatan laporan Rp. 500.000,00
d. Dokumentasi shoot dan foto Rp. 1.000.000,00
e. Vendel (cinderamata untuk narasumber) Rp. 500.000,00
f. Konsumsi Rp. 500.000,00
g. Biaya observasi Rp. 1.000.000,00 +
TOTAL PENGELUARAN Rp. 6.000.000,00 -
Rp 0,00

M. DAFTAR RIWAYAT HIDUP KETUA DAN ANGGOTA PELAKSANA
1. Riwayat Hidup Ketua
Nama : Ernawati
Tempat Tangal Lahir : Kab. Semarang, 23 September 1986
Agama : Islam
Alamat : Tegalombo RT 13/ RW 04 Krandon Lor, Suruh, Kab. Semarang
Riwayat Pendidikan
No. Pendidikan Tempat
1. TK TK Darussalam
2. SD MI Reksosari II
3. SMP SMP NU Suruh
4. SMA SMA 1 Suruh
5. PT P.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UNS


Riwayat Organisasi
No. Organisasi Jabatan
1 Himprobsi 2005/2006 Staf Perpustakaan
2 Teater Peron 2007 Bendahara
3 Teater Peron 2008 Ketua Bidang I
4 Teater Peron 2009 Ketua Bidang II

Training/kursus yang pernah diikuti:
No. Training/ Kursus Lembaga
1. Training Motivasi BEM FKIP UNS
2. Training Penulisan Naskah TBJT
3. Workshop Keaktoran TBJT
4. Training Penulisan Karya Ilmiah P. BASTIND
5. Training Penulisan Buku Teks FKIP UNS
6. Kursus Komputer SAC UNS

2. Riwayat Hidup Anggota I
Nama : Ari Setyaningsih
Tempat Tanggal Lahir : Kebumen, 11 Januari 1988
Agama : Islam
Alamat : RT 04/RW 01 Purwodadi, Kuwarasan, Kebumen
Riwayat Pendidikan
No. Pendidikan Tempat
1. SD SD Negeri 1 Purwodadi
3. SMP SLTP Negeri 1 Kuwarasan
4. SMA SMU Negeri 1 Gombong
5. PT P.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UNS



Riwayat Organisasi
No. Organisasi Jabatan
1. Teater Peron 2007 Staf Departemen Hubungan Masyarakat (HUMAS)

2. Teater Peron 2008 Ketua Umum

Training Kursus yang pernah diikuti:
No. Training/ Kursus Lembaga
1. Training Perpustakaan Himprobsi
2. Training Penulisan Karya Ilmiah P. BASTIND

3. Riwayat Hidup Anggota II
Nama : Dian Dewi Utami
Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 25 Januari 1988
Agama : Islam
Alamat : Jl Duren II Blok A No 556 RT06 RW12
Duren Jaya Bekasi Timur
Riwayat Pendidikan
No. Pendidikan Tempat
1. TK TK Harapan Kita
2. SD SDN Siliwangi I
3. SMP MTS Negeri I Bekasi
4. SMA MAN I Bekasi
5. PT P.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UNS

Riwayat Organisasi
No. Organisasi Jabatan
1. Himprobsi 2008 Staf Perpustakaan
2. Teater Peron 2007 Staf Departemen Logistik

Training Kursus yang pernah diikuti:
No. Training/ Kursus Lembaga
1. Training Perpustakaan Himprobsi
2. Training Penulisan Karya Ilmiah P Bastind
3. Training Penulisan Buku Teks FKIP
4. Kursusu Komputer SAC UNS

4. Riwayat Hidup Anggota III
Nama : Niken Sarasvati Devi
Tempat Tanggal Lahir : Purbalingga, 13 Juni 1989
Agama : Islam
Alamat : Jl. Rowi Yusup RT 01/RW04, Bobotsari, Kab. Purbalingga
Riwayat Pendidikan
No. Pendidikan Tempat
1. TK TK ABA Bobotsari
2. SD SDN 5 Bobotsari
3. SMP SMP N 1 Purbalingga
4. SMA SMA N 1 Purbalingga
5. PT P.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UNS

Riwayat Organisasi
No. Organisasi Jabatan
1. Himprobsi 2008/2009 Staf BKM
2. Himprobsi 2009/2010 Staf BKM
3. Teater Peron 2008 Staf Dept. Teater
4. Teater Peron 2009 Staf Dept. Penalaran



Training Kursus yang pernah diikuti:
No. Training/ Kursus Lembaga
1. Training Perpustakaan Himprobsi
2. Kursus Komputer SAC UNS

5. Riwayat Hidup Anggota IV
Nama : Yunita Nurul Khomsah
Tempat Tanggal Lahir : Wonosobo, 27 Juni 1988
Agama : Islam
Alamat : Sudagaran Sayang Mulyo no 60 RT 01 RW 06 Wonosobo.
Riwayat Pendidikan
No. Pendidikan Tempat
1. TK TK ABA 1 Wonosobo
2. SD SD N 06 Wonosobo
3. SMP SMP N I Wonosobo
4. SMA SMA N I Wonosobo
5. PT P.Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, UNS

Riwayat Organisasi
No. Organisasi Jabatan
1. TEATER PERON Staf Dept. sastra 2008
Staf Dept. Sastra 2009
2. SKI FKIP UNS Staf Bidang Kemuslimahan 2008/2009
3. HIMPROBSI Staff BKM 2008/2009
Staf BKM 2009/2010
Training Kursus yang pernah diikuti:
No. Training/ Kursus Lembaga
1. Training Perpustakaan Himprobsi
2. Kursus Komputer SAC UNS





























DAFTAR PUSTAKA

Atar Semi M. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press.

Cerita Rakyat. http://melayuonline.com/culture/?a=?/TiJYei9ZVEkvuX56EpWRnNX&t=cerita-rakyat. Diakses Tanggal 15 Desember 2008

Dedy Sugono( peny.). 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa.

Dongeng. http://id.wikipedia.org/wiki/dongeng.21. Diakses Tanggal 12 Desember 2008

Folklor Jendela untuk Memahami Fenomena di Masyarakat Penciptanya.
http://bolaeropa.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/humaniora/983532.htm. Diakses tanggal 14 Nov 2008

Haviland, William A. 1993. Antropologi (Edisi Terjemahan oleh R. G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga.

Henry Guntur Tarigan. 1993. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Herman J. Waluyo. 2006. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: University Sebelas Maret Press.

http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1102106-103544/. Diakses Tanggal 2 Desember 2008

http://www.atamajaya.ac.id?content.asp?f=0&id=3205. Diakses Tanggal 16 Desember 2008

http://www.bksnt.jogja.com/bksnt/agenda.detail.Php?id=36. Diakses 14 November 2008

James Danandjaja. 1997. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lin-lain. Jakarta: Grafik Press.

Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat (Edisi Terjemahan oleh Soejono soemargo. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Liaw York Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Munandar Soelaeman. 1987. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Eresco.

M. Rojaq Karim. 2006. Kajian Strutur Sastra dan Nilai Edukatif pada Legenda Joko Tingkir di Dukuh Butuh, Desa Gendongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen(Skripsi). Surakarta: FKIP UNS

Nyoman Tushi Eddy. 1983. Nukilan I, Esai tentang Sastra. Flores: Nusa Indah.

Panuti Sudjiman. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pengertian Sejarah dan Ruang Lingkup Ilmu Sejarah.
http://222.124.224.207/sejarah/. Diakses Tanggal 19 Nov 2008
http://sastradewa.blogspot.com/2008/03/pengertian-fungsi-dan-ragam-sastra.html. Diakses Tanggal 2 Desember 2008
Rawa Pening: Riwayat yang Panjang
http://groups.yahoo.com/group/LeoKristi/message/4234. Diakses tanggal 10 September 2008

Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi Sri.

Sebuah Penelusuran akan Cerita Rakyat. http://maygreen.wordpress.com/2007/07/07/hello-world/. Diakses tanggal 23 Agustus 2008

Sudomo Hadi. 2003. Pendidikan (Suatu Pengantar). Surakarta: Sebelas Maret Univercity Press.

Sugeng Muryanto dan Mukti Widiyati. 1998. Teori Sastra II: Pengantar Memahami Karya Sastra. Sukoharjo: FKIP Universitas Bangun Nusantara

Suminto. A. Sayuti. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Tadkiroatun Musfiroh. 2008. Memilih, Menyusun, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tema dan Amanat. http://oyoth.wordpress.com/2008/02/01/tema-dan-amanat/. Diakses Tanggal 19 Desember 2008

T. Segers, Rien. 2000. Evaluasi Teks Sastra(Edisi Terjemahan Suminto A Sayuti). Yogyakarta: Adicita.

Tirto Suwondo, dkk. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Wiwit Sulistya. 2008. Analisis Struktur dan Nilai Didik Cerita Rakyat. Sendang Penguripan dan Asal-usul Pesangrahan Langenharjo di Kabupaten Sukoharjo: Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran di SMA (Skripsi). Surakarta: FKIP UNS.

Yant Mujianto. 1988. Manik-manik Sastra II. Surakarta. BPK PBS FKIP UNS.














































PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
Cerita Rakyat Asal-Usul Rawa Pening Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (Tinjauan Struktur dan Nilai Pendidikan)

BIDANG KEGIATAN:
PKMP

Diusulkan oleh:


Ari Setyaningsih (K1205007)
Ernawati (K 1205014)
Dian Dewi Utami (X1206004)
Niken Sarasvati Devi (K1207003)
Yunita Nurul Khomsah (K1207042)


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
HALAMAN PENGESAHAN
USUL PKMP
1. Judul Kegiatan :Cerita Rakyat Asal-Usul Rawa Pening Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (Tinjauan Struktur dan Nilai Pendidikan)
2. Bidang Ilmu : Sastra dan Budaya
3. Pelaksana Kegiatan
Ketua : Ernawati
Anggota : Ari Setyaningsih
Dian Dewi Utami
Niken Saraswati Sevi
Yunita Nurul Khomsah
4. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
b. NIP : 131 913 144
5. Biaya Kegiatan Total :
a. Sumber Dikti : Rp. 6.000.000,00
b. Sumber lain : Rp -
6. Jangka Waktu Pelaksanaan : 6 bulan
Surakarta, Juli 2009
Menyetujui
Pembantu Dekan III FKIP UNS Ketua Pelaksana

Drs. Amir Fuady, M. Hum Ernawati
NIP130 890 437 NIM K 1205014


Pembantu Rektor III UNS Dosen Pendamping

Drs. Dwi Tiyanto, S.U. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.