Sabtu, 22 Mei 2010

Asal-usul Cerita Rakyat Sendang Senjaya dan Karebet

Pada zaman dahulu di negara Medang Kamolan terjadilah peperangan. Raden Sanjaya, pangeran negara tersebut kalah dan akhirnya lari sampai di Senjaya. Di sana ia bertapa kemudian menghilang dan munculah mata air yang diberi nama Sumber Senjaya atau Sendang Senjaya. Kemudian sumber tersebut dijadikan tempat pertapaan.
Pada suatu hari datanglah para priyayi di antaranya Ki Kebo Kanigoro, Sunan Kalijaga dan Jaka Tingkir atau Karebet. Di sana Karebet mendirikan sebuah padepokan yang diberi nama padepokan Karebet. Ia juga membuat sebuah gubuk, menanam buah manggis dan blimbing. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan desa Jubug, desa Manggisan dan desa Blimbing.
Karebet adalah anak seorang priyayi Pengging yang bernama Ki Kebo Kenanga. Ia dilahirkan ketika ayahnya menggelar pertunjukan wayang beber dengan Ki Ageng Tingkir sebagai dalangnya. Pada saat istri Ki Kebo Kenanga akan melahirkan terjadi hujan lebat serta angin kencang hingga menerpa wayang dan terdengar krebet-krebet, oleh karena itu Ki Ageng Tingkir memberi nama anak Ki Kebo Kenanga dengan nama Karebet.
Tidak lama kemudian, terdengar kabar bahwa Ki Ageng Tingkir sakit keras. Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang menjenguknya. Sampai di sana ternyata Ki Ageng Tingkir meninggal dunia. Mereka tinggal di desa Tingkir selama tujuh hari sebagaimana adat Jawa.
Ki Kebo Kenanga adalah penganut Hindu yang taat. Hari-harinya disibukkan dengan bertapa dan untuk mencapai kesejatian hidup. Akalnya cerdas dan hatinya bersih. Kekuasaan, pangkat, jabatan atau gelar kebangsawanan menjadi sesuatu yang ia hindari. Suatu kali ia bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Setelah itu ia masuk Islam dengan Syekh Siti Jenar sebagai gurunya. Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa pada hakekatnya manusia adalah Tuhan. Hukum hanya aturan semu belaka, bahkan bisa menjerumuskan pelakunya jika tidak disertai keyakinan ketuhanan. Ki Kebo Kenanga juga mengikuti faham tersebut. Syeh Siti Jenar dianggap telah menyesatkan agama Islam kemudian dia dihukum mati, dengan para wali sebagai eksekutornya.
Sebagaimana halnya Syekh Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga juga mempunyai banyak pengikut. Semua penduduk Pengging patuh dan mengikuti petuah-petuahnya. Pengging merupakan wilayah Demak, maka seharusnya tunduk pada kekuasaan Demak. Namun, Ki Kebo Kenanga tidak mau manghadap pada Sultan meskipun satu kali saja, apalagi ia masih kemenakan raja. Penolakan ini dianggap oleh Sultan sebagai pembangkangan. Beberapa kali utusan datang untuk menyuruh Ki Kebo Kenanga menghadap, tetapi tetap tidak dihiraukannya, hingga Sultan memberinya waktu tiga tahun. Waktu yang diberikan pun habis, dan Ki Kebo Kenanga tidak menghadap. Hal ini dianggap Sultan sebagai pengkhianatan, apalagi pendukungnya semakin banyak. Maka, Sultan menyuruh Sunan Kudus untuk memberikan hukuman mati kepada Ki Kebo Kenanga. Setelah kematian Ki Kebo Kenanga, istrinya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir.
Karebet tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gemar bertapa, sehingga dijuluki Jaka Tingkir. Nyai Ageng kurang berkenan dengan apa yang dilakukan Jaka Tingkir, kemudian ia menyuruhnya untuk berguru pada Ki Ageng Sela. Akhirnya ia berguru pada Ki Ageng Sela. Ki Ageng juga mengangangkatnya sebagai cucu dan dipersaudarakan dengan ketiga cucunya, yaitu Ki Juru Martanai, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Jaka Tingkir sangat cakap, sehingga Ki Ageng sangat sayang padanya. Menurut silsilah mereka masih misan, sama-sama cicit Prabu Brawijaya. Suatu kali Jaka Tingkir diajak bertapa di hutan. Ki Ageng meminta petunjuk pada Tuhan siapa yang akan menjadi raja besar Jawa nantinya. Dia berharap anak keturunanyalah yang akan menjadi raja besar, karena Ki Ageng merasa dirinya masih keturuan Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Tujuh hari tujuh malam mereka berada di hutan Renceh, di sebelah utara timur Tarub. Ki Ageng Sela menghabiskan waktu dengan bersemedi, sedangkan Jaka Tingkir hanya tidur dan bermain. Hingga suatu malam, Jaka Tingkir tertidur berbantalkan kaki Ki Ageng yang sedang bersemedi. Ki Ageng mendapatkan wahyu seperti mimpi. Dalam mimpinya, Ki Ageng pergi ke hutan membawa sabit hendak memangkas semak dan pohon-pohon kecil. Terlihat juga Jaka Tingkir sudah ada dalam hutan tersebut dan semua pohon sudah tumbang dicabut olehnya.
Seketika itu Ki Ageng terbangun dan melihat Jaka Tingkir tertidur di kakinya. Lalu ia membangunkannya dan menanyakan apakah ia pernah bermimpi. Jaka Tingkir menjawab bahwa ia pernah bermimpi kejatuhan bulan. Itu adalah mimpi yang bagus kata Ki Ageng Sela. Ki Ageng merasa resah dengan hal itu, namun ia pasrah dan sadar bahwa kekuasaan Tuhan tidak dapat diupayakan manusia. Ki Ageng menasehati agar Jaka Tingkir pergi ke Demak Bintoro untuk menemukan arti mimpinya itu. Ki Ageng juga berkata jika Jaka Tingkir telah berhasil ia jangan sampai melupakan keturunan Ki Ageng Sela.
Sebelum pergi ke Demak, Jaka Tingkir berpamitan pada Nyai Ageng Tingkir. Nyai Ageng Tingkir mengijinkannya asalkan ia ditemani pelayan, karena Nyai Ageng sangat sayang padanya, dan takut kalau terjadi apa-apa. Namun, pelayanya itu sedang matun (mencabuti rumput di sawah). Jaka Tingkir menuruti apa yang dikehendaki Nyai Ageng. Ia dengan sabar menunggu dua orang pelayan yang akan mengantarnya ke Demak, bahkan Karebet menyusul ke sawah untuk membantu agar cepat selesai. Menjelang waktu asar, Karebet masih bekerja di sawah. Kebetulan Sunan Kalijaga lewat di situ dan melihatnya sedang matun. Segera ia menghampiri dan mengatakan pada Jaka Tingkir agar ia menghentikan pekerjaanya itu dan mengatakan bahwa Jaka Tingkir adalah calon pemimpin Jawa. Sunan Kalijaga hanya berkata demikian, lalu meninggalkan Jaka Tingkir dan berjalan ke utara tanpa menoleh.
Setelah itu ia pulang dan menceritakan semuanya pada Nyai Ageng. Lalu Nyai Ageng menyuruhnya lekas berangkat dan pekerjaan yang belum selesai biar Nyai Ageng yang meneruskan. Lalu Jaka Tingkir berangkat ke Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Ganjur atau Kyai Gandamustaka (saudara Nyai Ageng Tingkir) yang bekerja sebagai perawat masjid Demak berpangkat lurah Ganjur.
Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggono, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak dengan pangkat lurah Wiratamtama. Suatu kali Jaka Tingkir diberi tugas untuk menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar yang datang terlambat. Nama orang tersebut Dadung Ngawuk. Ia bersikeras minta diuji. Dia merasa lebih hebat dibanding dengan calon prajurit tamtama yang lain, bahkan lebih sakti dari Jaka Tingkir. Kemudian Jaka tingkir menguji kesaktiannya dan Dadung Ngawuk tewas dengan menggunakan sadak kinang. Akibat kejadian ini Jaka Tingkir diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyu Biru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Ki Kebo Kanigoro sering mengajaknya bertapa di sendang Senjaya. Suatu kali sumber di sendang ini besar sekali, kemudian Jaka Tingkir menyumbat dengan rambutnya, dan akhirnya menjadi kecil dan bisa digunakan oleh masyarakat lagi. Di sendang ini terdapat tujuh mata air yaitu, pertama sendang Gojek. Sendang ini biasanya digunakan Jaka Tingkir sebagai tempat berkumpulnya dengan para wali. Kedua, Umbul Senjaya, tempat ini sebagai sumber pertama, hasil menghilangnya raden Sanjaya. Sumber ketiga yaitu sumber Bandung. Sumber keempat, sendang Kakung. Sendang ini digunakan Jaka Tingkir untuk mandi. Kelima yaitu sumber Teguh, keenam aendang putri dan yang terakhir Tuk Sewu, karena tuk di sumber ini banyak sekali, sehingga dinamakan Tuk Sewu.
Setelah tamat, Jaka Tingkir pergi ke Demak lagi dengan ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila dan Ki Wuragil. Rombongan ini menyusuri sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya dan menyerang mereka. Buaya-buaya tersebut dapat ditaklukkan, bahkan membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Sultan Trenggono sekeluarga sedang berada di gunung Prawoto. Atas usulan Ki Kebo Kanigoro, Jaka Tingkir melepas kerbau gila yang dinamakan Kebo Danu yang sebelumnya sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk dan menyerang pesanggrahan Sultan Trenggana. Tak seorang pun yang bisa menghadapi kerbau tersebut. Akhirnya Jaka Tingkir menghadapi kerbau tersebut dan ia diangkat menjadi lurah Wiratamtama lagi.
Prestasi Jaka Tingkir sangat bagus sekali, sehingga Sultan mengangkatnya menjadi menantu dan menjadi adipati Pajang dengan gelar Adiwijaya atau Hadiwijaya. Sepeninggal Sultan Trenggana, yang seharusnya menggantikan adalah Sunan Prawoto. Namun, beliau tidak mau karena ingin menjadi sunan atau priyayi mukmin di Prawoto. Kemudian tahta kerajaan diberikan kepada Jaka Tingkir dengan pusat pemerintahan di Pajang.
Dahulu setelah Pangeran Sabrang Lor Wafat, orang yang berhak menggantikannya sebagai Sultan adalah Pangeran Sekar Seda Eng Lepen. Namun, atas pertimbangan para wali dan kerabat istana, mereka memutuskan yang pantas menduduki tahta kerajaan adalah Sultan Trenggana. Hal ini menimbulkan rasa yang kurang puas pada Pangeran Seda Eng Lepen, tetapi ia masih berlapang dada dan menerima keputusan itu. Pangeran Seda Eng Lepen diam-diam mempersiapkan anaknya yang bernama Arya Penangsang untuk menggantikan pamannya, jika kelak sudah turun tahta. Arya Penangsang diserahkan kepada Sunan Kudus agar diasuh dan dididik. Ternyata Sunan Prawoto (anak Sultan Trenggana) juga dititipkan di sana. Arya Penangsang tumbuh menjadi manusia yang kuat, namun ia kurang bisa menahan emosi dan gampang marah, sedangkan Pangeran Prawoto lebih sabar dan tenang, namun dia kurang dalam kesaktian.
Pangeran Prawoto mencium gelagat yang kurang baik. Dia mencurigai pamannya, Pangeran Seda Eng Lepen akan merebut tahta kerajaan. Ia berencana menyingkirkan pamannya itu dengan cara menyuruh orang untuk membunuhnya. Selesai sembahyang di masjid, suruhan Pangeran Prawata mencegat Pangeran Seda Eng Lepen di pinggir sungai. Ia dalam keadaan lemah lalu dibegal dan dibunuh. Berita ini sampai di telinga Arya Penangsang. Lalu ia berencana akan membalas dendam, namun amarahnya itu berhasil diredam oleh Sunan Kudus. Dia berjanji akan membalas perbuatan Pangeran Prawata suatu ketika.
Pengangkatan Jaka Tingkir diketahui oleh Arya Penangsang. Ia tidak terima tahta kerajaan diberikan kepada orang yang bukan keturunan Raden Patah, apalagi yang mengangkatnya itu Sunan Prawoto. Sunan Kudus pun demikian. Dia lebih suka kalau orang yang memerintah adalah muridnya, bukan Adiwijaya yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Persaingan antar wali dalam bidang politik juga berpengaruh. Selain itu, Sunan Kudus kurang suka pada Adiwijaya karena ia telah beralih guru pada Sunan Kalijaga. Sunan Kudus bertambah tidak suka pada Sunan Kalijaga karena muridnya yang bernama Sunan Prawata juga ikut berguru pada Sunan Kalijaga. Ia bertanya pada Arya Penangsang hukuman apa bagi orang yang mempunyai dua orang guru sekaligus. Arya penangsang menjawab bahwa mati adalah hukumannya. Sunan Kudus mengatakan bahwa yang berhianat adalah Pangeran Prawoto. Sunan Kudus merasa Sunan Prawata telah berkhianat padanya. Hanya Arya Penangsang yang masih setia. Maka Arya Penangsang siap melakukan hukuman bagi Sunan Prawoto.
Semenjak saat itu Arya Penangsang melakukan serangkaian kekacauan. Ia membunuh banyak orang yang dianggapnya musuh. Dendam atas kematian ayahnya salah satunya. Baginya semua ini karena pamannya, Sultan Trenggana. Maka, semua orang yang masih anak cucu Sultan Tranggana harus dibinasakan. Pertama, yang ingin dia bunuh adalah Sunan Prawata. Selain sebagai putra Sultan Trenggana, ia juga telah berkhianat pada Sunan Kudus.
Adik Sunan Prawoto yang bernama Ratu Kalinyamat mendengar bahwa kakaknya telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Kemudian ia pergi menghadap kepada Sunan Kudus untuk mendapat keadilan. Ia berharap Sunan kudus dapat menghukum muridnya karena telah melakukan pembunuhan. Namun, Ratu kalinyamat tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lalu ia pulang dengan marah dan kecewa. Arya Penagsang mengetahui bahwa sepupunya itu telah mengadu pada gurunya. Ia menganggapnya sebagai kesempatan untuk membunuh mereka. Maka diutuslah beberapa pengawal untuk membunuh pasangan suami istri tersebut. Para pengawal menyamar sebagai perampok dan berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat, sementara itu sang ratu berhasil melarikan diri.
Ratu Kalinyamat semakin marah dan dendamnya semakin memuncak. Ia memutuskan pergi ke gunung Danareja untuk bertapa sebagai wujud ketidakberdayaan. Ia tanggalkan semua pakaiannya. Ratu bertapa dengan telanjang bulat. Ia membiarkan rambutnya terurai untuk menutupi tubuhnya. Ratu bersumpah tidak akan memakai kain seumur hidup sebelum Arya Penangsang mati. Dia juga mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang, ia akan memberikan semua harta bendanya.
Arya Penangsang telah berhasil membunuh Sunan Prawoto dan suami Ratu Kalinyamat, kemudian Sunan Kudus menasehatinya untuk membunuh Sultan Pajang dengan diam-diam. Ia mengirim empat orang untuk melakukan rencana tersebut. Para suruhan berhasil menyusup ke kamar tidur raja. Mereka melihat raja sedang tidur bersama istrinya. Mereka menghunuskan pedang ke selimut raja. Sang permaisuri terbangun lalu menjerit histeris. Raja pun bangun, lalu menyingkapkan selimutnya. Para pembunuh itu terjatuh dan tidak bisa bangun lagi. Sultan tidak menghukum mereka, malahan menyuruh mereka pulang serta diberi hadiah.
Keempat orang tersebut pulang ke Jipang dan melaporkan kegagalan percobaan pembunuhan itu kepada adipati. Laporan itu membuat Arya Penangsang semakin khawatir. Lalu ia meminta nasehat kepada Sunan Kudus. Dia meminta agar Sunan memanggil raja Pajang. Raja Pajang alias Jaka Tingkir menghadap Sunan Kudus karena masih mengangganya sebagai guru. Ki Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi memberikan usulan kepada raja untuk membawa seluruh pasukan tentaranya, pasukan kuda di depan dan pasukan jalan kaki di belakang. Pasukan tersebut dipimpin langsung oleh Ki Patih Mas Manca.
Sampai di alun-alun Kudus, Sunan Kudus memerintahkan Arya Penangsang menyambut dan mengajaknya masuk. Hal ini sebagai siasat untuk melemahkan raja Pajang. Meskipun terkenal dengan orang yang sakti, namun raja Pajang juga mempunyai kelemahan. Sunan dengan sengaja menyediakan kursi khusus untuk sang raja dengan harapan, setelah duduk dari kursi yang telah diberi mantra, kesaktiannya akan luntur.
Para Abdi Sela melihat gelagat yang tidak baik. Mereka menyarankan raja untuk berhati-hati. Para abdi Sela sengaja memancing amarah Adipati Jipang agar hilang akal sehatnya. Mereka berhasil membuat marah sang adipati, sehingga ia lupa untuk mempersilahkan Sultan Adiwijaya duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Beberapa saat kemudian Sunan Kudus keluar. Ia terkejut melihat kursi yang diberinya mantra itu telah diduduki Arya Penangsang. Firasatnya mengatakan bahwa manusia tidak bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa. Pertemuan itu tidak ada pembicaraan yang berarti. Sunan Kudus hanya sebagai penengah dalam perselisihan itu. Sunan Kudus memberi nasehat agar keduanya tidak boleh saling mendekat lagi. Antara Jipang dan Pajang harus pisah. Sungai Sore atau sungai Caket sebagai batasnya. Salah satu dari keduanya tidak boleh menyeberangi sungai. Jika ada yang menyeberang, maka akan menderita kekalahan dalam perang.
Sultan Adiwijaya tersentuh dengan apa yang dilakukan Ratu Kalinyamat. Ia pergi ke gunung Danareja untuk menasehati kakak iparnya itu untuk menghentikan pertapaannya. Ratu bersikeras tidak akan berhenti sebelum Arya Penangsang mati. Ia berjanji kepada Sultan Adiwijaya, jika ia berhasil membunuh Arya Penangsang maka akan dihadiahi kerajaan Kalinyamat (Jepara) dan Prawata (Demak). Sultan Adiwijaya tidak mau berperang melawan Adipati Jipang karena masih teringat nasehat Sunan Kudus. Namun, atas nasehat Ki Pemanahan Sultan Adiwijaya akan memberi jawaban sehari kemudian. Ki Pemanahan mendatangi Ratu Kalinyamat untuk menembah hadiahnya dengan dua wanita cantik. Hal ini adalah kelemahan raja. Kemudian Ki Pemanahan juga mendatangi Sultan bahwa membunuh Arya Penangsang bukan untuk mendapat hadiah, namun menolong saudara yang tertimpa kesusahan. Raja pun tidak harus turun langsung menghadapi Arya Penangsang, cukup bawahannya saja. Akhirnya raja setuju. Ia mengadakan sayembara. Siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang akan diberi hadiah Mataram dan Pati. Ki Pemanahan tergiur dengan hadiah tanah Jepara dan Demak, apalagi hadiah yang diberika oleh raja. Kemudian para tokoh Sela, yang teridiri dari Ki Pemanahan, Ki Juru Martani, Ki Panjawi dan Danang Sutawijaya segera mengatur siasat. Keempat kerabat Sela tersebut berangkat ke dekat sungai Caket. Mereka menyamar sebagai orang biasa. Ki juru Martani merencanakan taktik perang melawan Arya Penangsang. Di seberang sungai mereka melihat ada seorang yang sedang mencari rumput, ternyata orang itu adalah tukang rumput yang bertugas mencarikan rumput kudanya Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang. Mereka tidak melewatkan kesempatan ini. Mereka bertanya banyak hal tentang Arya Penangsang. Sang pencari rumput mengatakan bahwa Gagak Rimang sangat perkasa dan larinya sangat kencang, namun kuda ini akan sulit dikendaliakn kalau melihat kuda betina binal. Ia tidak sadar bahwa orang-orang yang bertanya itu hendak mencelakai gustinya. Ki Pemanahan menawarkan akan memberikan uang yang banyak kalau ia mau memotong salah satu telinganya. Akhirnya perumput tadi mau memotongnya. Ki Pemanahan segera menulis surat dan menggantungkannya pada daun telinga tersebut. Kemudian ia menyuruh orang itu menyampaikannya pada Arya Penangsang.
Sang perumput tersebut dengan berlumuran darah menghadap Arya Penangsang. Hal ini membuat marah adipati Jipang tersebut. Ia segera mengambil senjata dan memacu kudanya yang bernama Gagak Rimang ke sungai Caket. Sambil melontarkan caci maki dan tidak sabar untuk membunuh para kerabat Sela Tersebut. Ia tidak sadar bahwa kemarahanya tersebut telah membuatnya lupa atas pesan Sunan Kudus, bahwa siapa saja yang menyeberang sungai Caket maka akan kalah dalam berperang. Akhirnya Arya Penangsang terbunuh oleh Danang Sutawijaya atas kecerdikan Ki Juru Martani.
Setelah berhasil membunuh Arya Penangsang mereka menghadap Sultan. Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dengan gelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan menunda penyerahan tanah Mataram. Sampai beberapa tahun Mataram masih ditahan oleh Sultan. Alsan Sultan melakukan hal itu karena beliau khawatir dengan ramalan Sunan Prapen, bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mengalahkan kebesaran Pajang. Kalijaga menengahi kejadian ini. Beliau meminta Sultan untuk memenuhi janjinya. Sebaliknya Ki Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Pemanahan bersedia. Maka, Adiwijaya menyerahkan tanah Mataram kepada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang bernama kerajaan Mataram. Kerajaan tersbut telah tertutup hutan bernama alas Mentaok. Ki Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa, namun bersifat perdikan atua sima Swatantra. Ia hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara Rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak.
Setelah Ki Pemanahan meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang juga anak angkat Sultan Adiwijaya yang bernama Danang Sutawijaya. Sutawijaya diberi hak untuk tidak menghadap selama satu tahun. Hal ini diberikan Sultan agar Sutawijaya dapat mengolah pemerintahanya dengan lebih baik lagi. Waktu setahun telah berlalu, namun Sutawijaya tidak menghadap. Sultan Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menangakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua pejabat itu pandai menenangkan hati Sultan melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Sultan mendengar kemajuan Mataram semaikn pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa, Arya Pamalad, serta patih Mas Manca. Ketiga orang tersebut dijamu pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta Raden Rangga (anak sulung Sutawijaya) membunuh prajurit Arya Pamalad. Sesampainya di Pajang Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan menerima laporan tersebut dan berusaha menahan diri.
Pada suatu hari seorang keponakan Sutawijaya yang bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Raden Pabelan yang bernama tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membnatu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik kandung Sutawijaya meminta bantuan padanya. Akhirnya Sutawija mengirim pasukan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangan ke Semarang. Perbuatan yang dilakukan Sutawijaya ini membuat Adiwijaya mengambil tindakan untuk menyerang Mataram. Pasukan Pajang yang jumlahnya lebih banyak, namun menderita kekalahan. Hal ini karena Sutawijaya meminta bantuan istrinya, Ratu Kidul dan para jin di gunung Merapi untuk membatu peperangan tersebut. Gunung merapi meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang. Kemudian Adiwijaya menarik pasukannya. Dalam perjalanan pulang ia singah ke makam Sunan Tembayat, namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai suatu firasat bahwa ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan pulang. Di tengah perjalanan ia terjatuh dari punggung gajag tunggangannya, sehingga ia harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datanglah mahluk halus anak buah Sutawijaya yang memukul dada Adiwijaya, sehingga sakiynta bertambah parah. Adiwijaya berwasiat supaya anak-anaknya jangan membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram merupakan takdir dari Tuhan. Selain itu, Sutawijaya sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri atau sebagai putranya yang paling tua. Sebelum meninggal Adiwijaya sebelum meninggal menetap di sebuah desa, tempat Sendang Senjaya berada dan meninggal di sana. Masyarakat setempat mengenalnya dengan makam Kyai Slamet. Makam tersebut dijadikan tempat berdoa atau mujahadah hingga sampai saat ini.

cerita rakyat rawa pening

Cerita rakyat rawa Paning terjadi pada tahun delapan saka atau delapan Jawa. Pada saat itu ada seorang warga yang yang sedang mempunyai gawe atau hajatan. Mereka kekurangan alat dapur, khususnya pisau. Kemudian seorang gadis cantik bernama Dewi Ariwulan meminjam pisau pada seorang resi yang bernama Ki Hajar Sarwokartolo. Dia adalah resi yang mempunyai padepokan di desa Aran. Nama padepokan tersebut padepokan Ngasem. Ilmu utama yang diajarkan di padepokan itu adalah manembah pada Sang Akaryo Jagad atau pada Yang Maha Kuasa.
Setelah Dewi Ariwulan sampai di padepoka, ia segera menemui Ki Hajar. Ki Hajar meminjamkan pisaunya. Ki Hajar berpesan untuk berhati-hati menggunakan pisau itu, karena pisau itu belum pernah dipakai. Selain itu ia juga berpean jangan sampai memangku pisau. Dewi Ariwulan capai dan lelah, dan secara tidak sengaja memangku pisau. Pisau itu lenyap.
Kemudian Dewi Ariwulan segera menemui Ki Hajar dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ia siap menerima hukuman untuk menebus kesalahannya. Ki Hajar tidak marah padanya. Beliau mengatakan bahwa hal itu merupakan kehendak Yang Kuasa, yang terjadi biarlah terjadi. Manusia hanyalah menjalankan apa yang ditakdirkan oleh Tuhan. Ia juga mengatakan kalau Dewi tidak perlu khawatir. Pisau itu tidak hilang dan masuk ke dalam perut Dewi dan ia akan hamil. Seketika Dewi kaget dan pingsan. Atas bantuan Ki Hajar, Dewi siuman.
Ki hajar kembali ke gunung untuk bertapa, sementara itu Dewi kembali ke desa Aran. Dia berpesan kalau anak yang dikandung Dewi Ariwulan lahir dan menanyakan siapa bapaknya, maka ia harus menjawab bahwa bapaknya sedang bertapa di gunung Sleker. Ki hajar memberikan dua buah pusaka yang berupa sumping dan genta (klintingan). Di desa Aran Dewi diperlakukan tidak baik oleh warga. Semua orang mencemooh dan menghinanya. Dewi tidak tahan dengan perlakuan warga, lalu memutuskan pergi dan menuju ke hutan rimba. Di hutan rimba ia bertemu dengan seorang kakek pencari kayu, karena kasihan ia dan teman-temannya membuatkan Dewi gubuk. Meskipun berada di hutan, namun Dewi tetap bertanggung jawab dengan bayi yang di dalam kandungannya. Ia dengan sabar merawat kandungannya. Kalau lapar ia segera mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa dimakan di hutan.
Waktu melahirkan pun tiba. Saat itu terjadilah mendung leliwungan (gelap gulita), mendung dan angin besar. Anak yang dilahirkan Dewi Ariwulan tidak berupa anak manusia, namun jabang bayi seekor ular. Jabang bayi tersebut secara lahir seukuran bayi manusia, baik berat maupun ukurannya. Namun karena getaran angin, badan jabang bayi tersbut berubah menjadi besar. Ia bisa bicara seperti manusia dan tata jalma. Ia manembah pada ibunya dengan menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan pengabdian. Setelah agak dewasa dia menanyakan siapa bapaknya. Dewi mengatakan bahwa bapak dari anaknya adalah seorang resi yang bernama Ki Hajar Sarwokartolo, yang sekarang dia sedang bertapa di gunung Sleker. Sebelum berangkat Dewi memberikan dua buah pusaka yang berupa sumping dan genta sebagai tanda bukti. Anak tersebut mencari bapaknya karena ingin mengabdi.
Setelah memohon doa restu pada sang ibu, ia berangkat. Ia lewat di parit, tebing dan lain sebagainya. Ia napak pada sebuah batu, kemudian batu tersebut dinamai batu baruklinting atau watu sisik. Selama perjalanan ia juga lewat di atas tanah dan terbentuklah kali yang sangat panjang, kemudian dinamai kali Panjang. Di masuk ke dalam tanah dan terbentuklah tuk muncul. Saat ke luar dari tanah yang muncul adalah kepalanya (sirah dalam bahasa Jawa), tempat ini dinamai desa Sirah. Kemudian, dia lewat darat dia mengatakan keparat, kamudian menjadi kali Parat. Ke arah kana nada gili besar diterjang akhirnya menjadi desa Gilang. Kemudian lewat kali Gung (kali Ageng, kali Gede) ekornya berbunyi klinting-klinting, maka terbentuk kali petit. Masyarakat mengetahui kalaio ada naga yang menggunakan klintingan dan berbunyi kalau ia berjalan maka mereka menyebut ular tersebut dengan Baru Klinting. “Baru” berasal dari berasal dari kata “bra” yang artinya keturuna Brahmana. Brahmana adalah seorang resi yang kedudukannya lebuh tinggi dari pendeta. Baru Klinting putus asa karena tidak berhasil menenmukan bapaknya. Dari kejauhan ibunya mengetahui hal itu, kemudian sang ibu menyanyikan lagu dandang gulo sebagai penyemangat. Akhirnya anaknya sadar dan bangkit lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia sampai pada sebuah gunung yang ada batunya, bentuknya seperti lawang, maka daerah tersebut diberi nama Watu Lawang. Dia naik lagi ke puncak. Di sana dia bertemu dengan seorang kakek yang sedang membakar ketela. Di depan kakek tersbut ada sebuah pohon ketela. Dia menanyakan pada kakek apa nama gunung itu. Kakek menjawab bahwa nama gunung ini adalah gunung Telomoyo. Dia juga menanyakan apakah kekek Ismoyo juga mengetahui tempat Ki Hajar Sarwokartolo. Kakek mengatakan bahwa gunung ini bukan tempat Ki Hajar bertapa. Baruklinting harus istirahat dulu. Dia akan diwejang ilmu oleh kakek Ismoyo. Setelah sampai berbulan-bulan, Baruklinting diijinkan untuk meneruskan perjalanannya.
Baruklinting sampai di gunung Sleker, di sana ia bertemu dengan ayahnya. Kemudian menyerahkan dua benda pusaka sebagai bukti kalau ia adalah anak dari Ki Hajar. Namun, Ki Hajar tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ki Hajar akan mengakui Baruklinting sebagai anak kalau ia mampu melingkari gunung Sleker. Akhirnya Baruklinting bisa melingkari gunung tersebut, namun kurang saju jengkal. Dia mngulurkan lidahnya, namun Ki Hajar memotong lidah Baruklinting. Baruklinting merasa kesakitan, tubuhnya terjungkai dan terjatuh di hutan. Lalu hutan tersebut dinamakan gunung Semampir. Tempat di mana Ki Hajar memberi dawuh (wejangan) pada Baruklinting, maka tempat tersebut dinamakan alas Dawuhan, lalu tubuhnya menjadi gunung Kleker. Kemudian Ki Hajar menyuruh Baruklinting bertapa di gunung Gajah Mungkur selama satu minggu. Selama bertapa ibunya juga mengikuti dari kejahuan. Ibunya menemukan sebuah sendang dan berendam di sendang tersebut.
Suatu hari ada sebuah pademangan yang gemah ripah loh jinawi. Setiap tahun mereka mengadakan tradisi budaya merti desa atau sedekah desa. Kegiatan ini sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan pada desa tersebut. Para pemuda disuruh mencari hewan buruan di hutan. Namun, hari itu mereka tidak mendapatkan satu pun ekor hewan buruan. Kemudian untuk melepas lelah, mereka beristirahat di bawah pohon besar. Pada zaman dahulu kebiasan masyarakat adalah nginang dengan buah jambe. Orang tersebut tidak menemukan landasan untuk menumbuk, dia menggunakan tanah untuk sebagai landasannya. Beberapa saat kemudian mereka melihat darah yang keluar dari dalam tanah. Ternyata setelah digali, tanah tersebut merupakan daging ular yang sangat besar. Lalu mereka memotong-motong daging raksasa tersebut dan membawanya ke desa. Daging yang dibawa para pemuda tersebut merupakan tubuh Baruklinting. Ia sedang bertapa di hutan tersebut. Kemudian Baruklinting menjelma menjadi seorang anak yang lusuh dan kudisan. Dia pergi ke desa yang sedang mengadakan sedekah desa tersebut untuk meminta makanan. Namun, tak ada satu pun penduduk yang memberinya makanan. Lalu ia pergi ke rumah seorang janda tua. Di sana ia diberi makan, meskipun ala kadarnya. Setelah makan, Baruklinting berpamitan pada wanita itu untuk melihat pertunjukan wayang di balai desa. Di sana ia disia-sia lagi oleh penduduk. Kemudian ia mengadakan sayembara dengan menancapkan lidi di depan pendopo. Ia mengatakan siapa saja yang bisa mencabut lidi tersbut akan mendapat hadiah. Namun, kalau tidak ada yang bisa mencabutnya maka mala petaka akan datang karena penduduk bersikap sombong dan tidak mempunyai sifat belas kasihan. Lalu tidak ada seorang penduduk pun yang bisa mencabut lidi. Baruklinting kemudian mencabutnya sendiri. Pada saat lidi tersebut dicabut, bumi bergetar, langit menjadi gelap, tempat dicabutnya lidi tersbut keluarlah air yang sangat besar dan menggenangi desa tersebut. Mbok Randa tersebut selamat karena sebelumnya Baruklinting telah berpesan kalau di sebelah utara ada luapan air, Mbok Randa diminta masuk ke dalam lesung. Mbok Randa pada saat mengayuh lesung terdengar bunyi tung – tang, kemudian menjadi desa Tuntang. Mbak Randa ke barat dan menetap di daerah pegunungan. Dia menjadi orang pertama yang tinggal di wilayah itu, lalu orang-orang menyebutnya sebagai danyang dan memanggilnya dengan Nyai Lembah. Pada saat di perjalanan dia melewati sebuah rawa yang sangat luas (amba) kemudian tempat tersebut dinamakan Ambarawa. Di desa yang diluapi air tersebut, ada juga orang yang berhasil menyelamatkan diri (mentas), kemudian desa itu dinamakan desa Mentas. Cabutan lidi yang dibuang oleh Baruklinting menjadi gunung Kendali Sada, cerpikannya menjadi gumuk Sukorino, Sukorini (bukit cinta) yang sekarang dinamakan gumuk Brawijaya, di sebelah barat menjadi desa Kebondowo, disebut demikian karena melewati kebun yang panjang (dowo). Asal kata rawa Pening merupakan pemberian Jaka Wening (Baruklinting) yang berasal dari bahasa Jawa ”sok sopo wae sing bisa kraga nyawa lahir batin, isoh ngepenke lahane jagat, entok kawelasih kang Maha wening” yang artinya barang siapa yang bisa menjaga lahir batin, menjaga jagat raya, dia akan mendapatnkan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa.